Catatan Satire; Rizal Pandiya

- Sekretaris Satupena Lampung


DI TENGAH gaduhnya sengketa pulau yang lebih panas dari sop iga daging sapi qurban, tiba-tiba muncul kabar, “Dua dari empat pulau itu ternyata sudah lebih dulu ‘diduduki’ orang Minangkabau”. Warganet pun dibuat gagal fokus setelah mengetahui kedua nama pulau itu menggunakan bahasa Minang: Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek.

Mangkir? Gadang? Ketek? Warganet pun sontak bertanya, “Ini pulau atau pelaku pelanggaran absensi apel pagi?”

Kalau diterjemahkan bebas dalam bahasa Minang, “Mangkir Gadang” artinya “minggat besar-besaran”, dan “Mangkir Ketek” itu “minggat kecil-kecilan”. Sebuah penamaan yang cukup unik sekaligus membingungkan.

Tapi dari nama ini pula, muncul pertanyaan usil, “Kenapa nama pulau di Aceh tapi pakai bahasa Minang? Apakah ini pulau-pulau milik perantau? Apakah mereka dulunya anak kos dari Bukittinggi yang tak pernah pulang kampung? Atau apakah ini bukti bahwa budaya Minang sangat cair, bisa meresap ke mana saja, termasuk ke dalam peta?

Sebagai orang Minang yang besar di rantau, bisa saya jelaskan. Duduk yang manis, siapkan kopi susu, jangan salah paham dulu. Ini bukan invasi apa lagi makar, tapi ini sejarah.

Pulau-pulau itu memang punya nama rasa Minang karena dulunya kawasan itu konon sempat disinggahi, dihuni, bahkan ditatah oleh suku Minangkabau yang bermigrasi ke pantai barat Aceh. Mereka kemudian dikenal sebagai Aneuk Jamee – anak tamu. Sebutan halus dari “ini orang luar, tapi sangat menyatu tinggal di tanah Aceh.”

Ceritanya, pada abad ke-17 hingga abad ke-19, ketika di Minangkabau sedang menghadapi Perang Padri, banyak orang Minang migrasi ke Aceh. Mereka bukan cuma bawa rendang dan dendeng lambok, tapi juga bawa adat, bahasa, bahkan kemungkinan nama pulau juga.

Masyarakat Aceh pun, dengan kearifan lokalnya, menerima “musafir” itu dengan tangan terbuka. Mereka diberi tempat. Bahkan Kerajaan Aceh saat itu dengan lapang dada berkata, “Silakan, kami kasih kalian hak dan kebebasan mencari kehidupan. Yang penting jangan berebut jadi imam sholat Jumat.”

Itulah kenapa budaya Minang beranak pinak di pesisir Aceh. Lahirlah Aneuk Jamee. Bahasa Jamee berkembang, budaya Jamee tumbuh, dan… pulau-pulau pun akhirnya ikut-ikutan bernama Jamee. Termasuk dua pulau yang kini disengketakan itu: Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek.

Tapi… kenapa mereka “mangkir”? Apakah karena kecewa pada pemerintah pusat yang lupa memberi mereka kesejahteraan dan sinyal WiFi? Atau karena SK Mendagri lebih tipis dari amplop kunker anggota dewan dan lebih licin dari belut yang kecemplung oli?

Pulau-pulau ini seolah sedang mengirim pesan halus, “Kami bukan mau minggat, tapi kalian aja yang lupa dan menelantarkan kami.”

Dan lucunya lagi, yang nafsu ingin merebut pulau ini adalah Pemprov Sumatra Utara. Sementara orang Minang yang dulu ngasih nama pulau, malah santai ngopi di bawah Jam Gadang, sambil menikmati kerupuk kuah.

Mungkin kita perlu mengadakan musyawarah adat gabungan, mempertemukan para tetua dari Aceh, Minang, dan Sumut, duduk melingkar di bawah pohon kapulun, diskusi damai sambil ngunyah keripik sanjai.

Atau… kalau terlalu rumit, hibahkan saja pulau-pulau itu kepada Aneuk Jamee. Biar sekalian jadi kawasan wisata budaya tiga rasa: Aceh-Minang-Batak. Kita sekalian bisa branding, “Welcome to Mangkir Islands”. Pulau Seribu Identitas.

Ya…, begitulah. Sepertinya, di negeri ini bukan cuma manusia saja yang bisa mangkir. Pulau pun, kalau sudah lelah dicuekin, bisa mangkir diam-diam, dengan nama Minang, di tengah laut Aceh, dan direbut Sumut.

Karena itu, untuk memindahkan empat pulau dari Aceh ke Sumut, dibutuhkan kerja besar. Bukan karena pulau itu memiliki bobot yang sangat berat, melainkan memiliki jejak historis yang sangat kuat dari rakyat Aceh.

Dan itulah mengapa keberadaan Aneuk Jamee sudah menyatu dengan masyarakat Aceh. Bahkan pulau pun – seperti Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek – kalau mau pindah domisili, sebelum menghadap Mualem, kayaknya harus izin dulu ke ninik mamak suku Aneuk Jamee.

Maka benarlah, pulau-pulau ini bukan sembarang pulau. Mereka bukan hanya punya akar sejarah, tapi juga punya akar silsilah keluarga.

Jadi saran saya, sebelum merebut pulau, mending kumpul di rumah gadang. Bawa periuk sebagai barang bukti, lalu kita musyawarahkan. Kalau perlu, tanya dulu ke ninik mamak, “Apakah benar pulau ini bagian dari sebuah periuk yang lama?”

Kalau iya, artinya bukan soal siapa pemiliknya, tapi siapa yang pernah masak nasi di dalamnya. Setidaknya untuk menentukan, suku Aneuk Jamee ikut siapa? Karena sesungguhnya pulau-pulau itu tidak berpenghuni. (*)


Bandarlampung, 15 Juni 2025

#MakDacokPedom 



 
Top