Oleh Ririe Aiko
KALA hari terasa begitu berat,
Uap dari secangkir kopi mengepul perlahan.
Di dalam cangkir kecil itu,
tersimpan pahit yang tak larut oleh gula.
Namun anehnya,
pahit itu justru menghadirkan ketenangan.
Kita menyesapnya pelan-pelan,
seolah sedang belajar menerima hidup—apa adanya.
Karena tak semua yang pahit harus ditolak.
Ada rasa yang dibiarkan tetap getir, justru agar kita tahu:
bahwa kenikmatan tak selalu lahir dari manisnya rasa,
tapi dari keikhlasan untuk merangkul apa yang sulit diterima.
—-000—
Dalam hidup, masalah selalu datang tanpa kita undang, tanpa kita siap dan tanpa jeda, masalah datang bertubi-tubi, sampai terkadang kita berada di titik di mana segalanya terasa begitu berat. Napas menjadi pendek, langkah terasa limbung, dan hati mulai bertanya-tanya: “Masihkah aku mampu bertahan?”
Namun seperti secangkir kopi tanpa gula yang tetap kita minum meski pahit, hidup mengajarkan bahwa rasa pahit pun bisa dinikmati—jika kita bersedia mengubah cara pandang. Pahit bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah bagian dari rasa, bagian dari perjalanan. Bahkan ia bisa menjadi penguat, jika kita berhenti melawannya dan mulai menerimanya sebagai bagian dari pertumbuhan.
Tidak semua hal indah datang dari hal-hal manis. Justru dalam getirnya hidup, kita bisa menemukan makna. Dalam kehilangan, kita menemukan keikhlasan. Dalam kegagalan, kita belajar tentang kerendahan hati. Dalam luka, kita mengerti arti penyembuhan. Seperti kopi, hidup menyuguhkan rasa yang utuh—dan kita yang harus belajar bagaimana menikmati setiap teguknya.
Jika kita bisa duduk tenang dan menyeruput kopi pahit dengan penuh kebahagiaan, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama pada kenyataan hidup? Kuncinya bukan menunggu rasa manis datang, tapi menumbuhkan kemampuan untuk menemukan nikmat dalam rasa yang paling tidak nyaman sekalipun.
Hidup memang tidak selalu mudah. Tapi bukan berarti tidak bisa dijalani. Seperti kopi yang membuat pagi menjadi bermakna meski pahit di lidah, pengalaman-pengalaman getir dalam hidup pun bisa menjadi alasan bagi kita untuk tumbuh, menguat, dan mencintai perjalanan ini dengan lebih utuh.
Dan pada akhirnya, kita akan tahu:
bahwa yang pahit tidak selalu buruk.
Ia hanya sedang mengajarkan kita
untuk lebih menghargai setiap rasa
yang hadir dalam hidup,
sebelum ia pergi tanpa sempat kita pahami. (*)