Kaba “Catuih Ambuih”
Oleh: Bagindo M Ishak Fahmi
DI TENGAH derasnya arus zaman, di saat gawai menjadi guru, algoritma menjadi penuntun, dan layar digital menggantikan surau sebagai ruang belajar, warisan luhur Minangkabau seperti perlahan terkikis. Padahal, di masa lalu, surau bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah universitas pertama orang Minang. Di sana, anak muda digembleng: belajar silat, adat dan agama. Semua bermuara pada satu tujuan mulia—membentuk manusia berbudi, bukan sekadar petarung tangguh.
Pepatah bijak mengatakan, “Sakali aia gadang, sakali tapian barubah.” Perubahan adalah keniscayaan. Tapi dalam setiap perubahan, ada nilai yang harus tetap dijaga. Salah satunya adalah pendidikan karakter, yang hari ini menjadi kebutuhan mendesak di tengah krisis keteladanan dan maraknya dekadensi moral generasi muda. Perkelahian remaja ( tawuran) , pergaulan bebas, dan kehilangan arah spiritual menjadi wajah buram yang menghantui masa depan bangsa.
Silek Dari Silaturahmi ke Jalan Mencari Tuhan
Dalam khazanah Minangkabau, silat (silek) tak sekadar gerakan fisik atau teknik membela diri. Ia adalah jalan hidup, sebuah laku untuk membentuk manusia yang utuh—kuat raganya, tajam pikirannya, dan halus budinya.
Sebagian memahami “silat” sebagai bentuk silaturahmi, tempat mempererat hubungan, membangun persaudaraan, dan belajar saling menghormati. Sementara itu, filosofi lain menyebutkan:
“Dilāhiah mancari kawan, dibāthin mancari Tuhan.”
Artinya, secara lahiriah, silat mengajarkan kita membangun relasi sosial yang sehat—mencari kawan, menjunjung etika, berperilaku baik dalam masyarakat. Sementara secara batiniah, silat menuntun kita mencari Tuhan—menjalani hidup dengan nilai-nilai keagamaan, mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Dalam pengertian ini, silat bukan hanya latihan tubuh, melainkan latihan jiwa. Setiap gerak dalam silat bukan sekadar teknik, tapi pesan. Pesan tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara hubungan sesama manusia dan hubungan dengan Tuhan.
Maka, dalam adat Minang yang berpijak pada filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,” silat menjadi bagian dari pendidikan moral dan spiritual. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia bukan hanya kuat tangan, tapi juga kuat akhlak dan lembut hati.
Di titik inilah, silat bukan sekadar beladiri, tetapi media pendidikan karakter yang menyeluruh dan mengakar.
Bukan Sekadar Jurus, Tapi Jati Diri
Pendidikan karakter bukan konsep abstrak. Menurut Kemendikbud, pendidikan karakter adalah proses penanaman nilai-nilai luhur kepada peserta didik, yang mencakup nilai religius, nasionalis, integritas, kemandirian, dan gotong royong. Nilai-nilai ini sangat sejalan dengan filosofi dalam silat tradisional Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun.
Latihan silat bukan hanya melatih otot dan refleks. Lebih dari itu, silat mengajarkan tentang disiplin, rasa hormat, tanggung jawab, dan kerendahan hati. Seorang pesilat sejati tidak pernah menyombongkan kemampuan. Ia dituntun oleh moral dan etika. Ia menghindari konflik, bukan mencarinya. Ia menjaga dirinya agar tidak menjadi alat kekerasan, melainkan sumber keteduhan.
Silat adalah jalan hidup, bukan panggung unjuk kekuatan. Ia membentuk karakter melalui tiga dimensi utama:
Fisik – latihan gerak yang membangun daya tahan, ketangkasan, dan kebugaran tubuh.
Intelektual – mengasah logika, fokus, dan kepekaan dalam membaca situasi.
Spiritual dan Moral – membentuk hati yang luhur, rendah hati, dan menjunjung nilai-nilai moral.
Surau, Silat, dan Sekolah Dasar: Tiga Pilar Membangun Karakter
Di masa lalu, pendidikan karakter itu alami. Anak muda Minang tinggal di surau sejak baligh. Mereka belajar bersilat, memahami adat, dan mendalami agama. Kini, ketika struktur sosial berubah, dan fungsi surau tak lagi seperti dulu, sekolah dasar dapat menjadi ruang alternatif untuk mewarisi nilai-nilai itu.
Bayangkan jika anak-anak usia 7–12 tahun—usia emas pembentukan karakter—diberi ruang untuk berlatih silat bukan hanya sebagai seni beladiri, tapi sebagai kurikulum karakter. Dalam setiap gerakan, mereka belajar menghargai tubuh, menghormati pelatih, dan menjaga sesama. Mereka tidak hanya melatih fisik, tapi juga mengasah pikiran dan membentuk hati.
Anak-anak seperti ini akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh secara jasmani, berakhlak secara rohani, dan cerdas secara intelektual. Mereka memiliki keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan, antara logika dan empati, antara rasionalitas dan nilai-nilai moral.
Seimbangkan Otak Kiri dan Kanan
Penelitian dalam psikologi perkembangan menyebutkan bahwa otak kiri bertanggung jawab atas logika, analisis, dan keterampilan matematis, sementara otak kanan berperan dalam kreativitas, emosi, dan intuisi. Menurut Dr. Daniel Siegel, profesor psikiatri klinis dari UCLA, keseimbangan perkembangan antara kedua hemisfer ini adalah kunci untuk kesehatan mental dan pembentukan karakter yang utuh.
Latihan silat tradisional, dengan pendekatan yang holistik—gerakan terstruktur, nilai spiritual, dan interaksi sosial—merangsang kerja otak kiri melalui disiplin dan strategi, serta otak kanan melalui seni gerak dan empati sosial. Maka, silat bukan sekadar olahraga, melainkan terapi perkembangan yang menyeluruh.
Silat sebagai Jalan Kultural Mendidik Anak
Menurut Prof. Dr. Riza Noer Arfani, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, silat sebagai bagian dari kebudayaan lokal dapat menjadi alat resistensi terhadap arus globalisasi yang kerap membawa nilai-nilai asing. Ia menyatakan:
“Ketika masyarakat lokal kehilangan instrumen budaya dalam mendidik generasinya, mereka akan menjadi pasar nilai dari luar. Silat, dalam konteks Minangkabau, adalah bentuk pendidikan sosial yang mampu membangun identitas, solidaritas, dan karakter moral.”
Sementara itu, Psikolog Anak Dr. A. Kasandra Putranto menyebut bahwa usia anak sekolah dasar adalah masa kritis pembentukan kepribadian:
“Pada usia 7–12 tahun, anak sedang mencari role model dan struktur nilai. Kegiatan seperti silat yang dikaitkan dengan nilai-nilai moral dan sosial sangat efektif untuk membentuk kontrol diri, empati, dan kepercayaan diri yang sehat.”
Silat Melawan Krisis Karakter
Kita hidup dalam zaman di mana layar menggantikan peluk, dan notifikasi menggantikan nasehat. Anak-anak semakin terpapar oleh konten negatif, dari game penuh kekerasan hingga konten media sosial yang nihil nilai. Tanpa fondasi karakter, anak-anak mudah terjerumus ke dalam pergaulan bebas, kekerasan antar kelompok (tawuran), dan ketergantungan pada pengakuan digital.
Silat, yang ditanamkan sejak dini, akan menjadi benteng karakter. Ia menumbuhkan harga diri dari dalam, bukan dari likes atau followers. Ia membangun kepercayaan diri lewat kemampuan nyata, bukan semu. Ia mengajarkan bahwa menjadi kuat berarti mampu menahan diri, bukan menghancurkan lawan.
Membangun Anak Minang yang Tangguh dan Berbudi
Masyarakat Minangkabau memiliki warisan luar biasa dalam silat. Tapi warisan itu tidak akan berarti jika tidak ditanamkan kembali dalam tanah subur generasi muda hari ini. Surau boleh berubah wujud, tapi nilai-nilai luhur di dalamnya tak boleh hilang.
Kita tak membutuhkan lebih banyak petarung. Kita butuh manusia berkarakter, yang kuat fisiknya, cerdas pikirannya, dan mulia hatinya. Silat, bila diajarkan sebagai bagian dari pendidikan karakter di sekolah dasar, bisa menjadi kunci menjawab tantangan peradaban. Ia bukan sekadar jurus dan tendangan. Ia adalah tapian baru dalam aia gadang zaman ini.
Maka, marilah kita gaungkan kembali silat sebagai jalan membentuk karakter anak-anak Minang. Sebab membangun satu generasi berbudi lebih penting dari sekadar membentuk barisan kekuatan. Karena sejatinya, peradaban besar dibangun oleh manusia yang kuat karakternya, bukan semata oleh kekuatan fisiknya. (*)
Padang, 6/2025