Catatan Satire; Rizal Pandiya
- Sekretaris Satupena Lampung
DI TENGAH hangatnya isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, rakyat disuguhi drama baru yang tak kalah absurd: empat pulau yang selama ini anteng di wilayah Aceh, tiba-tiba pindah ke Sumatra Utara. Padahal, pulau-pulau itu tidak punya kaki, roda, apalagi aplikasi ojek online. Ini jelas bukan migrasi biasa, tapi lebih mirip sulap birokrasi ala negeri yang kadang lebih lucu dari acara stand up komedi.
Lalu, muncullah tawaran “damai”, pulau-pulau itu dikelola bersama. Kedengarannya sih adem dan bijaksana, seperti saran seorang tetua adat. Tapi kalau dikunyah-kunyah lebih lama, rasanya seperti kalimat asbun alias asal bunyi yang keluar dari mulut seorang jenderal bintang empat.
Mungkin dia sedang bosan atau kehabisan ide segar. Sebab, dalam sejarah geopolitik dunia, belum ada satu pun pulau yang berhasil dikelola bersama tanpa akhirnya rebutan pantai buat selancar dan bakar jagung. Tapi kalau sekadar untuk pengalihan isu, rasanya juga sudah basi!
Lalu siapa sebenarnya yang mau dipecundangi pemerintah pusat? Muzakir Manaf? Wah, hati-hati, Cuy, jangan sampai salah tendang bola. Supaya tidak kepleset logika atau tersesat di hutan administratif, mending simak dulu cerita di bawah ini. Siapkan kopi susu, cemilan gurih, dan bayangkan empat pulau cantik yang nyiur melambai seperti Raja Ampat sebelum digunduli.
Ne, saya kenalin. Muzakir Manaf atau yang lebih dikenal sebagai Mualem adalah mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang kini diberi mandat rakyatnya untuk memimpin negeri Serambi Mekkah ini sebagai gubernur. Ia bukan sekadar mantan kombatan biasa, tapi bintang lapangan medan perang yang tak butuh pangkat jenderal untuk dihormati.
Kalau hari ini orang membandingkan Mualem dengan Tito Karnavian, mungkin akan muncul satu catatan penting. Tito memang jenderal bintang empat, tapi Mualem adalah bintangnya para pejuang yang tidak pernah tunduk pada kompromi kotor. Tito jadi jenderal bisa jadi karena penghargaan atas loyalitasnya kepada Jokowi, sedangkan Mualem jadi simbol karena keteguhan sikapnya yang tak pernah bisa dibeli.
Jadi jangan salah hitung. Kalau Tito berpikir bisa memecundangi Mualem hanya dengan menggeser garis batas lewat SK ke Sumatra Utara, maka perlu diingat, yang dia hadapi bukan kepala daerah biasa, tapi simbol perlawanan yang sudah kenyang hidup di hutan, berhadapan dengan kematian, dan tetap tegak saat banyak elit mulai membungkuk.
Dan ini bukan soal ego. Ini soal isi perjanjian Helsinki, Cuy. Salah satu pasal kunci adalah soal batas wilayah Aceh seperti tahun 1956. Nah, empat pulau yang sekarang “disulap” masuk Sumut, itu masuk wilayah Aceh versi Helsinki. Kalau Mendagri nekat ambil, artinya perjanjian Helsinki dianggap batal.
Dan kalau itu terjadi, ya jangan salahkan kalau suara-suara kemerdekaan kembali menggema. Rakyat Aceh bukan cuma sensitif soal martabat, tapi juga hafal sejarah pengkhianatan. Mereka mungkin diam sekarang, tapi diamnya Aceh sering kali lebih berbahaya dari ributnya Jakarta.
Pertanyaannya, apakah ini memang strategi Tito untuk mengalihkan isu besar seperti pemakzulan Wakil Presiden? Atau hanya trik untuk menambal popularitas yang mulai bocor? Yang jelas, Tito sebaiknya jangan bermain api di tanah yang belum padam bara perjuangannya.
Karena satu hal yang tak bisa dipalsukan di negeri ini, yaitu, kalau kebenaran sudah kehilangan daya, maka simbol perlawananlah yang akan dihidupkan kembali. Dan untuk itu, Mualem sudah siap. Bukan dengan senjata, tapi dengan legitimasi moral dan sejarah panjang perjuangan.
Kalau pusat masih nekat, ya jangan salahkan kalau tagar berikutnya bukan lagi #SavePulauKami, tapi #ReferendumAceh. Sumpah! Ini bukan memprovokasi, tapi boleh jadi sebagai bentuk akumulasi kekecewaan. Kendati sumber daya alamnya kaya, namun status daerah miskin, sepertinya belum beranjak dari tanah rencong itu.
Dan, rakyat sudah tahu kok, di belakang Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution itu siapa. Jadi, sebaiknya, jangan bersembunyi di balik pohon toge seolah-olah ini murni urusan administrasi. Kita semua tahu, kalau pohon toge saja sudah bisa dipakai sembunyi, pasti ada yang sedang menyusun akal-akalan.
Empat pulau yang katanya jadi “sengketa” itu sejatinya selama ini baik-baik saja di sisi Aceh. Tak ada konflik, tak ada baku tikam antar warga. Bahkan ayam pun masih bisa bertelur dengan tenang di sana. Lalu tiba-tiba muncul drama “Ini pulau kami!” – dari pihak yang bahkan mungkin belum pernah menyeberang ke sana kecuali pakai drone.
Yang jadi pertanyaan, siapa yang memulai ini semua? Tak ada angin tak ada hujan tetapi petirnya kok besar sekali? Tak ada urgensi, kecuali kalau tujuan utamanya memang ingin membangunkan macan tidur.
Tahu sendiri, kalau Aceh sampai bangun dari tidurnya, itu bukan cuma untuk wudhu dan tahajud lalu berdoa agar sang angkara sadar diri. Aceh bangun untuk mengingatkan sejarah, membuka kembali peta lama, dan – kalau perlu – mendeklarasikan hak yang digerogoti pelan-pelan lewat SK tipis dan tinta birokrasi yang baunya lebih amis dari laut sekitar pulau sengketa.
Dan, jika pulau-pulau itu harus diperebutkan kembali, dapat dipastikan Mualem pasang badan. Ia punya jejak yang tak main-main – dari Libya, ke hutan Aceh, lalu ke panggung politik lokal dan nasional. Bahkan tokoh sekelas Din Minimi saja ogah nyerah ke siapa pun kecuali dijemput Mualem. Artinya, kalau Mualem suruh jalan kaki ke empat pulau itu, eks kombatan bakal gotong dia kayak raja Arab pulang umrah.
Ini bukan lagi urusan SK Mendagri atau koordinat GPS. Ini soal harga diri kolektif yang sedang diuji oleh birokrasi dan sinyal Wi-Fi. Sementara pejabat di Jakarta sibuk bikin peta di balik meja sambil ngopi, masyarakat Aceh sudah pasang bendera, gotong tikar, dan siap musyawarah di bawah pohon sambil bilang, “Kami siap dipimpin Mualem untuk merebut kembali pulau kami. Kalau perlu, lewat jalur TikTok baru ke pengadilan.”
Dan kita tahu, zaman sekarang, yang viral duluan itulah yang bisa dianggap sah. Kebenaran kini bukan sekadar fakta, tapi juga hasil editan video yang pas timing-nya. Maka mari kita dorong Mualem untuk tampil dalam video pendek, berdiri di bibir pantai, pakai loreng kombatan dan berkata lantang, “Ini tanah kami. Empat pulau ini akan kembali!”
Karena apa? Negeri ini butuh lebih dari sekadar kajian teknis. Negeri ini butuh simbol keberanian, ketegasan, dan kenekatan yang bisa diviralkan. Dan Mualem cocok. Ia bukan hanya punya sejarah, tapi juga followers loyal yang setia dari hutan sampai ruang sidang.
Jadi, mari kita deklarasikan, “Pulau boleh dicetak di peta siapa saja. Tapi hati rakyat tetap bersama Mualem.” Dan kalau perlu, buat kaosnya sekarang juga. Sebelum Mendagri bikin SK baru, yang menyatakan keempat pulau itu akan diberikan sebagai hadiah kepada seseorang. (*)
Bandarlampung, 15 Juni 2025
#MakDacokPedom