Nadirsyah Hosen


SAYA  berimajinasi membayangkan Bapak Fadli Zon, Menteri Kebudayaan RI, menyampaikan hal sebagai berikut:


“Sebagai Menteri Kebudayaan, saya mewarisi bukan hanya narasi kebesaran bangsa, tetapi juga fragmen sejarah yang menyayat: tragedi pemerkosaan massal pada masa transisi kekuasaan 1998. Kita boleh berdebat soal jumlah korban atau definisi ‘massal’, namun bagi para penyintas, penderitaan itu nyata. Luka mereka bukan statistik. Mereka adalah jiwa-jiwa yang dilukai oleh diam dan kelengahan kita.

Dalam upaya pemerintah menulis ulang sejarah bangsa, episode kelam ini akan kami hadirkan dengan keberpihakan yang tegas kepada perspektif korban. Menulis sejarah bukan sekadar menyusun kronik kekuasaan, tapi membaca batin bangsa—mengakui luka, menandai pelajaran, dan menciptakan ruang pulih. Sejarah tak boleh menjadi propaganda, tetapi harus menjadi cermin: agar anak-anak kita tahu, bahwa bangsa ini pernah terluka, dan memilih untuk tidak melukai lagi.

Dengan penuh kerendahan hati, saya menyampaikan permohonan maaf kepada para korban atas kegagalan negara melindungi mereka. Kita telah gagal menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan. Atas nama pemerintah, saya meminta maaf.

Saya dan Presiden Prabowo berkomitmen bahwa tragedi ini tidak akan terulang. Kita ingin tumbuh sebagai bangsa yang tak hanya cerdas, tapi juga berbelas kasih. Bangsa yang menjadikan empati sebagai pilar kebudayaan, dan keadilan sebagai wujud nyata dari kemanusiaan.”


**


Bisa kan Pak Menteri Fadli Zon? Anda tentu bisa lebih baik lagi dari imajinasi saya. Kami tunggu yahh. (*)


Tabik




 
Top