KAB.SOLOK, SUMBAR -- Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Sumatera Barat (BPK Sumbar) menemukan sejumlah ketidaksesuaian dalam pengelolaan aset di lingkungan DPRD Kabupaten Solok Tahun Anggaran 2024. Salah satunya dalam pengadaan pin emas untuk para wakil rakyat.
Pemeriksaan mengungkap bahwa spesifikasi barang tidak sesuai dengan kontrak, di antaranya kadar emas yang lebih rendah dari yang ditetapkan serta tidak ditemukannya beberapa unit pin emas yang seharusnya dalam penguasaan pihak berwenang.
Selain masalah dalam pengadaan pin emas, catatan buruk untuk DPRD Kabupaten Solok juga menyoal belum kunjung dikembalikannya satu unit kendaraan dinas jenis Toyota Fortuner yang tadinya dipakai oleh mantan Ketua DPRD Kabupaten Solok.
Masuk pada Permasalahan
Pengadaan sebanyak 35 unit pin emas bagi anggota DPRD Kabupaten Solok dikerjakan oleh penyedia CV KA dengan nilai kontrak Rp358.2 juta, berdasarkan Surat Pesanan Nomor 03.2.555/Set.DPRD-2024. Setiap pin dirancang dari emas 24 karat seberat 6 gram, dihias batu zircon, berlogo Kabupaten Solok, dengan tinggi 52 mm dan lebar 28 mm. Barang diterima pada 23 Desember 2024.
Namun, hasil pengujian laboratorium oleh PT Pegadaian membuktikan kadar emas yang digunakan hanya 22 karat (sekitar 91,6%), bukan 24 karat (99,99%) seperti tertuang dalam kontrak. Selisih harga per gram antara emas 24K dan 22K sebesar Rp80.000, yang jika dikalikan dengan 35 unit pin menghasilkan kelebihan pembayaran sebesar Rp23.7 juta.
Tak hanya soal kadar, hasil pemeriksaan fisik pada 11 s.d 25 April 2025 menemukan bahwa tiga dari 35 pin emas tidak dapat ditemukan. Salah satu yang disorot adalah pin milik anggota DPRD yang telah dijual ke tokoh emas SG. namun, pihak tokoh enggan menyebutkan namanya. Tiga pin emas yang tidak dapat ditunjukan saat pemeriksaaan yaitu pin yang dipinjamkan kepada Rn, My, dan Ns.
Sekretaris dewan dan PPTK, menjawab konfirmasi BPK menyebutkan bahwa tiga buah pin yang tidak ditemukan saat audit tersebut telah hilang. Temuan ini menimbulkan potensi kerugian negara hingga (3 x Rp10.2 juta, yaitu Rp30.7 juta) ditambah keraguan terhadap keabsahan pengelolaan aset tetap yang didanai dari APBD.
BPK menyatakan bahwa peristiwa ini bertentangan dengan sejumlah regulasi pengadaan barang/jasa, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 yang diperbarui lewat Perpres Nomor 12 Tahun 2021, khususnya Pasal 7 ayat (1) huruf f tentang etika dan tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas, Pasal 11 ayat (1) huruf c tentang kewajiban Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam mengendalikan kontrak, dan Pasal 27 ayat (6) yang mewajibkan dokumen kontrak mencantumkan spesifikasi teknis sesuai.
Selain itu, peristiwa ini dinilai melanggar ketentuan dalam Permenkeu Nomor 181/PMK.06/2020 tentang pengelolaan barang milik daerah, yang mewajibkan pemda melakukan inventarisasi, pencatatan, dan pengamanan aset negara.
BPK Provinsi Sumbar menilai Sekretariat DPRD, khususnya PPTK, kurang cermat dalam pengendalian kegiatan dan pengelolaan aset. Anggota DPRD pun dinilai tidak menunjukkan kepatuhan administratif dalam menjaga aset negara yang telah diterimanya.
BPK menyimpulkan bahwa telah terjadi kelebihan pembayaran senilai Rp23.704.800,00 karena selisih kadar emas. Pemerintah juga dinilai berisiko menerima aset tetap yang tidak sesuai ketentuan, dan terjadi kehilangan tiga unit pin emas senilai total Rp30.7 Juta.
Untuk itu, BPK merekomendasikan agar Bupati Solok memerintahkan Sekretaris DPRD menindaklanjuti temuan ini, menginstruksikan PPTK meningkatkan pengawasan, serta memproses pengembalian kelebihan pembayaran ke kas daerah.
Selain itu, DPRD diminta untuk melacak dan mengembalikan tiga pin emas yang belum diketahui keberadaannya serta menguatkan ketentuan spesifikasi dalam dokumen pengadaan agar tidak terulang kembali.
Sekretaris DPRD Kabupaten Solok, Zaitul Ikhlas, memberikan penjelasan resmi terkait sejumlah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyangkut pengadaan pin emas DPRD serta aset tetap yang belum dikembalikan oleh mantan pejabat legislatif.
“Sesuai kontrak antara Sekretariat DPRD dengan pihak ketiga, kadar emas untuk pin DPRD adalah 24 karat,” ujar Zaitul.
Ia menjelaskan bahwa pihak ketiga telah meminta toko emas membuat pin sesuai kadar tersebut. Namun, berdasarkan pemeriksaan BPK, ternyata hasil uji kadar menunjukkan bahwa kadar emas tidak sesuai dengan ketentuan kontrak. “Terhadap hal ini, sesuai perhitungan BPK, pihak ketiga diwajibkan menyetor ke kas daerah atas kekurangan kadar emas tersebut,” tambahnya.
Lebih lanjut, Zaitul mengungkapkan bahwa terdapat tiga orang anggota DPRD yang tidak dapat menunjukkan pin emas yang telah mereka terima.
“Pin emas itu masuk dalam kategori belanja modal. Saat pemeriksaan BPK, ada tiga anggota yang tidak dapat menunjukkan pin dengan alasan hilang atau tidak ditemukan,” katanya.
Atas kejadian tersebut, BPK meminta agar masing-masing anggota yang bersangkutan mengganti pin tersebut. “BPK meminta agar yang bersangkutan mengganti dengan bukti pemesanan dan barang berupa pin apabila sudah jadi,” jelasnya.
Terkait aset tetap yang belum dikembalikan oleh mantan Ketua DPRD Kabupaten Solok periode 2019–2024, yaitu satu unit mobil Toyota Fortuner dan satu buah piano, Zaitul menyatakan bahwa pihaknya sudah berupaya maksimal. “Kami sudah menyurati yang bersangkutan sebanyak tiga kali. Selanjutnya, kami juga telah membuat laporan resmi kepada Bupati untuk meminta bantuan penarikan aset melalui Satpol PP dan BKAD, khususnya Bidang Aset,” tegas Zaitul Ikhlas.
Ahli hukum dan akademisi, Miko Kamal, S.H., LL.M., Ph.D, menegaskan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam pengadaan dan pengelolaan aset negara harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku.
“Semua orang yang terlibat harus ikut aturan yang berlaku. Perihal kadar emas, kalau dalam kontrak disebutkan 24 karat tapi ternyata yang diberikan hanya 22 karat, itu sudah pelanggaran hukum,” tegas Miko Kamal.
Ia juga menyoroti soal aset yang belum dikembalikan, termasuk pin emas dan kendaraan dinas.
“Kalau ada pin yang tidak dikembalikan, berarti itu pelanggaran. Harus diusut sesuai peraturan yang berlaku. Jika tidak, maka ada konsekuensi hukumnya,” ujarnya.
Terkait kendaraan dinas yang masih dikuasai mantan pejabat, Miko menilai langkah tegas harus segera dilakukan.
“Mobil dinas harus dikembalikan sesuai aturan. Jika kendaraan itu sudah tidak layak digunakan, maka bisa gunakan mekanisme lelang. Kepala daerah berwenang mengambil secara paksa kendaraan itu melalui Satpol PP.”
Ia mengingatkan bahwa seluruh prosedur pengelolaan aset harus dilakukan secara tertib sesuai waktu yang diberikan.
“Pemerintah harus menjalankan amanah itu dengan peraturan yang jelas. Ketika diberikan rentang waktu, maka harus tertib. Jika tidak, ada konsekuensi hukum,” pungkasnya.
“Aset itu milik masyarakat. Maka wajib dikembalikan sesuai ketentuan yang ada.”
Ketua Dewan Pembina KPNPA RI Perwakilan Sumatera Barat sekaligus advokat, Dr. Yusfar, S.H., M.Hum, menegaskan bahwa penyimpangan dalam pengadaan pin emas DPRD Solok sudah masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
“Tindakan itu termasuk perilaku korupsi. Ada mark up, ada penyimpangan, itu sudah masuk dalam kategori korupsi,” tegas Yusfar.
Ia juga menyoroti soal kendaraan dinas yang belum dikembalikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Solok sebelumnya, yang menurutnya tidak bisa dianggap hal sepele.
“Kalau kendaraan yang merupakan aset negara tidak dikembalikan, maka itu harus dilaporkan ke Kejaksaan Negeri, karena sudah masuk ranah penggelapan aset negara,” ujarnya.
Yusfar menekankan bahwa ketegasan dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan aset negara penting untuk menjaga wibawa pemerintahan dan kepercayaan publik.
#tim/sumber: LHP BPK RI Tahun 2024