Catatan Cak AT
DI TANAH Air kita yang gemar menyambut bencana dengan doa, dan mengakhiri polemik dengan siaran pers yang mengimbau “mohon bersabar, ini ujian,” kisah haji furoda yang tragis tahun ini layak masuk nominasi Sinetron Lebaran Terbaik.
Bedanya, tak ada soundtrack religi yang menyejukkan. Hanya ribuan calon jemaah haji yang menggigit bibir —bukan karena haru, tapi karena Rp 300-400 juta uang mereka menguap seperti air zamzam dituang ke gurun. Dibalut campur malu karena sudah selamatan haji di rumah.
Mari kita mulai dari tokoh antagonisnya: visa furoda, artinya sendiri-sendiri, alias pakai visa mujamalah, alias jalur “khusus tapi gak resmi,” alias harapan palsu berkedok janji surgawi. Istilah furoda sendiri muncul di al-Qur’an dalam ayat 94 surah al-An’am.
Tahun-tahun sebelumnya, visa untuk haji furoda ini hadir sebagai angin segar bagi jamaah berduit. Mereka umumnya yang tak sabar menunggu antrean haji reguler yang panjangnya bisa menyaingi usia harapan hidup. Tak sedikit pula mereka sudah berusia di atas 60 tahun.
Tapi tahun ini, Pemerintah Arab Saudi memutuskan: tidak ada satu pun visa furoda diterbitkan untuk Indonesia. Nihil. Zero. Nehe. Padahal, visa ini masih keluar untuk negara-negara lain, misalnya Mesir, meskipun tak begitu jelas berapa jumlahnya.
Kegagalan berhaji foruda memunculkan nyanyian, “Minal furoda, ila rumah saja,” begitu kira-kira. Lalu siapa yang disalahkan? Bukan Arab Saudi, tentu. Mereka kabarnya menyetop visa jenis siyahah alias visa turis ini untuk kita karena jamaah kita sulit diatur.
Saudi beralasan diplomatis, bahwa visa tak dikeluarkan karena hanya sedang menata ulang sistem perhajian agar tidak lagi ada jemaah yang tidur di trotoar Arafah atau menyamar sebagai petugas kebersihan demi bisa lempar jumrah. Padahal, sejatinya mereka pusing ngatur kita.
Pemerintah kita? DPR kita? Mereka dengan sigap menggelar jumpa pers penuh pengakuan: “Maaf, itu bukan domain kami.” Dan seperti biasa, kita kembali ke mantra nasional kita yang sakti: “Kami mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati.”
Sementara itu, ribuan calon jemaah haji furoda menghadapi kenyataan pahit: uang mereka tertahan di travel yang dulunya menjanjikan “berangkat cepat, tanpa antre, langsung cium Hajar Aswad.” Kini, yang dicium kenyataan bahwa refund uang tak semudah transfer.
Pemerintah, yang selama ini pura-pura masa bodo, memang sudah minta baik-baik agar travel mengembalikan uang jemaah secara utuh. Tapi kita semua tahu, antara permintaan pemerintah dan realitas lapangan ada jurang bernama: “Syarat dan ketentuan berlaku.”
Yang lebih kocak —jika tak ingin menyebut tragis— adalah pernyataan bahwa visa furoda ini bukan tanggung jawab pemerintah. Alasannya, karena hubungan antara Arab Saudi dan travel bersifat B2G (business to government). Lucu, bukan?
Saat promo haji furoda menjamur di medsos, semua diam. Tapi saat ribuan orang gagal berangkat, kita mendadak cuci tangan sebersih-bersihnya seperti baru keluar dari wudhu. Pemerintah dan wakil rakyat di DPR tahu ada masalah, tapi mereka cuek bebek.
Padahal beberapa jemaah bahkan mengaku sudah menyetor bukan ke travel, tapi ke oknum tertentu yang mengaku bisa “mengurus” visa. Rasanya seperti membeli tiket konser dengan janji bisa peluk penyanyinya langsung —eh, ternyata zonk.
Tapi jangan buru-buru pesimis. Sebetulnya jika mau, kita bisa belajar dari Mesir, misalnya. Negara dengan kouta haji hanya 32 ribu itu mengatur haji non-kuota mereka dengan sistem elektronik yang ketat. Pemerintah tak tinggal diam dengan mengatur furoda bersama Saudi.
Setiap visa harus punya barcode, terdaftar di sistem e-Hajj Arab Saudi, disertai kontrak akomodasi, detail maktab, bahkan nomor telepon jemaah. Travelnya pun diawasi. Tidak ada istilah “sudah lunas tapi tak terdaftar.” Dengan begitu, pihak Saudi sendiri tak pusing-pusing ngatur.
Kalau Mesir bisa, kenapa kita tidak? Atau jangan-jangan kita terlalu sibuk membuat poster digital “Waspada Travel Bodong” sampai lupa membuat regulasi yang tegas? Atau malahan jangan-jangan selama ini haji furoda jadi lahan oknum untuk korupsi tanpa terdeteksi KPK.
Akhirnya, polemik visa furoda ini bukan hanya soal gagal berangkat haji. Ia adalah cermin buram dari sistem perhajian kita yang terlalu percaya pada good faith travel agent, tapi lupa menyiapkan legalitas dan pengawasan yang baik.
Ia juga menjadi pengingat bahwa ibadah sebesar haji tak boleh diserahkan pada janji-janji kosong dan brosur berkilau. Tahun depan, saat pemerintah sudah tak lagi menangani langsung pelaksanaan haji, sudah waktunya fokus ke regulasi, termasuk haji furoda.
Jika negara hendak meniru Mesir dengan ingin tetap membuka ruang untuk haji non-kuota, maka regulasi adalah harga mati. Jangan biarkan visa mujamalah terus menjadi visa mujalasah —yang hanya membuat jemaah duduk termenung, mengenang duit ratusan juta yang raib.
Dan bagi para jemaah masa depan, semoga episode furoda 2025 ini jadi pelajaran berharga: tidak semua jalan pintas menuju Tanah Suci adalah jalan yang disucikan. Kembalilah menyucikan niat untuk berhaji, tapi mesti tetap menempuh cara berhaji yang legal dan aman. (*)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 8/6/2025