Resensi Buku
Oleh: H. Wahyu Iryana
- Sejarawan UIN Raden Intan Lampung dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Sejarah Islam Lampung
APA jadinya jika sejarawan dari berbagai penjuru nusantara duduk bersama, saling membentangkan pengalaman riset dan ingatan lokal mereka, lalu meraciknya dalam satu bunga rampai? Jawabannya hadir dalam buku Jejak Waktu: Indonesia dalam Pusaran Bahari, Etnisitas, & Transformasi Sosial yang diterbitkan oleh Pagan Press pada Juni 2025.
Buku setebal 346 halaman ini memuat 15 artikel dari 27 penulis sejarah lintas perguruan tinggi dan wilayah, disunting oleh Fikrul Hanif Sufyan dan Prof. Dr. Sarkawi B. Husain dua nama yang tak asing dalam peta intelektual sejarah kontemporer Indonesia.
Buku ini bukan sekadar dokumentasi akademik. Ia adalah mosaik intelektual yang menghidupkan kembali wajah Indonesia dari pelbagai sisi: dari dunia maritim yang terlupakan, etnisitas dan spiritualitas yang nyaris hilang, gaya hidup yang berubah karena kolonialisme dan kapitalisme, hingga tragedi yang membentuk kesadaran kolektif kita sebagai bangsa.
Empat Pilar yang Menyangga Jejak Sejarah
Buku ini dibagi ke dalam empat bagian besar: (1) Dunia Bahari dan Transportasi Air, (2) Etnisitas dan Tradisi Keagamaan, (3) Gaya Hidup dan Perubahan Sosial, dan (4) Bencana, Perang dan Tragedi Kemanusiaan.
Bagian pertama menyajikan tiga studi menarik yang menggambarkan betapa pentingnya dunia pelayaran dan perdagangan dalam membentuk karakter ekonomi dan sosial masyarakat kepulauan.
Artikel La Ode Rabani dan Muryadi tentang Wakatobi adalah yang paling menonjol. Mereka mengungkap bagaimana wilayah yang “terpencil” secara geografis justru terkoneksi dengan pasar global sejak abad ke-20, lengkap dengan kisah “duralex” (gelas Prancis) sebagai simbol kelas menengah di rumah-rumah panggung sederhana.
Sejarah Wakatobi menjadi ilustrasi konkret dari teori sejarah mikro bahwa globalisasi tidak selalu berasal dari kota, tetapi bisa dari laut yang tampak sunyi.
Basrin Melamba dkk kemudian melengkapi narasi itu dengan mengangkat sejarah Teluk Lasolo di Sulawesi Timur, sebagai jalur penting perdagangan antar pulau yang belum banyak disentuh dalam historiografi mainstream.
Syaharuddin dan timnya pun menunjukkan kanal di Banjarmasin sebagai infrastruktur kolonial yang menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat Banjar sebuah bukti bahwa air tidak hanya mengalirkan komoditas, tapi juga budaya.
Membaca Etnisitas dan Relasi Spiritual
Bagian kedua menyentuh dimensi yang lebih halus: etnisitas, budaya, dan keyakinan. Tulisan Sarkawi B. Husain dan kawan-kawan tentang peran perempuan dalam struktur sosial Tana Towa di Sulawesi Selatan menjadi penanda penting bagaimana matriarki dan mistisisme lokal bisa berkelindan dan menghasilkan masyarakat yang egaliter secara spiritual.
Artikel tentang tradisi lebaran yang ditulis oleh Zakiya Darajat membentangkan lintasan sosial yang luas dari Sumatera hingga Jawa, menyoroti praktik halal bihalal sebagai warisan budaya Islam Nusantara yang melebur dengan budaya lokal.
Sementara Wahyu Purwiyastuti membawa kita menengok “spirit Askarseba” di Salatiga, mengisahkan kehidupan berasrama yang membentuk etika kolektif dan jejaring elite.
Dari Korupsi Global hingga Pasar Bawah Pekanbaru
Bagian ketiga menghadirkan bahasan gaya hidup dan modernitas kolonial. Deddy Arsya menulis tentang Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) dan bagaimana gaya hidup kolonial masuk secara perlahan ke dalam kesadaran bumiputera melalui arsitektur, makanan, dan fesyen. Sebuah tema yang jarang diangkat, tetapi justru menjadi kunci memahami transformasi identitas masyarakat pasca-kolonial.
Tulisan Tri Wahyuning M. Irsyam tentang “Museum Hidup Depok” mengajak kita untuk merefleksikan makna warisan kolonial dan upaya meredefinisi simbol kota.
Sedangkan artikel Suroyo tentang sejarah korupsi berhasil menyuguhkan paparan historis dari zaman Mesopotamia hingga Indonesia modern, membuka cakrawala bahwa praktik ini bukan hanya problem moral, tapi juga institusional.
Artikel terakhir oleh Yuliantoro membedah Pasar Bawah Pekanbaru, pasar tua yang memuat memori etnis dan perdagangan yang sangat kompleks mirip Chinatown di banyak kota Asia.
Sejarah yang Bertarung dengan Tragedi
Bagian terakhir adalah puncak klimaks dari bunga rampai ini. Kisah tentang meletusnya Gunung Krakatau 1883 yang ditulis oleh Wahyu Iryana dengan gaya naratif yang khas mengajak kita menelusuri jejak trauma ekologis dan sosial Lampung pasca letusan.
Artikel ini tidak hanya berbasis data primer dan arsip koran, tapi juga menggugah secara emosional—bahwa bencana adalah bagian tak terpisahkan dari pembentukan identitas lokal.
Fikrul Hanif Sufyan dan timnya menuliskan tentang konflik PERTI di Nagari Taram, Limapuluh Kota. Tulisan ini menguak ketegangan antara agama dan politik dalam tubuh umat Islam pasca-Revolusi, dengan studi mikro yang jarang disorot sebelumnya.
Penutup bagian ini adalah kisah tragis kecelakaan kereta api Bintaro 1987 oleh Aditia Muara Padiatra. Dalam tulisan yang cermat dan menyentuh, ia menghadirkan kembali luka kolektif masyarakat urban yang belum sepenuhnya pulih hingga kini.
Catatan Kritis: Menuju Sejarah Publik yang Inklusif
“Jejak Waktu” bukan hanya buku sejarah. Ia adalah tawaran naratif baru dalam kajian historiografi Indonesia: inklusif, lintas wilayah, dan mengedepankan sisi-sisi yang tak biasa. Penulis-penulisnya tidak hanya akademisi dari universitas besar di Jawa, tapi juga berasal dari kampus-kampus daerah dari Kendari, Lampung, Ambon, hingga Palu. Ini adalah monumen kolaboratif dari Perkumpulan Program Studi Sejarah se-Indonesia (PPSI) yang patut diapresiasi.
Namun, tentu tak ada karya yang sempurna. Buku ini, meski padat dan berbobot, masih memiliki tantangan dalam aspek pengeditan teknis. Beberapa tulisan masih terjebak dalam gaya akademik yang terlalu formal dan padat, membuat pembaca non-akademisi mungkin kesulitan mencerna. Beberapa ilustrasi pun bisa diperbanyak agar lebih memperkaya pembacaan visual.
Meskipun begitu, kekuatan buku ini justru terletak pada keberaniannya menampilkan sejarah sebagai mosaik pengalaman, bukan narasi tunggal. Ia mengajak kita melihat Indonesia dari bawah dari kampung, laut, pasar, kanal, dan masjid, bukan dari istana dan parlemen.
Penutup: Waktu dan Jejak yang Tak Pernah Usai
Di tengah derasnya arus sejarah instan dan narasi tunggal, Jejak Waktu datang sebagai penyegar. Buku ini mengajarkan bahwa waktu bukan sekadar kronologi, tapi juga pengalaman kolektif yang membentuk siapa kita hari ini.
Bahwa sejarah bukan hanya milik negara dan tokoh besar, tapi juga milik awak perahu, penjual kopi di Pasar Bawah, petani duralex, hingga anak-anak BMX di Tugu Pahlawan Wangi-Wangi. Dan karena itu, buku ini pantas menjadi bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami Indonesia dari sisi yang berbeda lebih dalam, lebih membumi, dan lebih manusiawi. (*)
Bibliografi:
Fikrul Hanif Sufyan & Sarkawi B. Husain (Editor), Jejak Waktu: Indonesia dalam Pusaran Bahari, Etnisitas, & Transformasi Sosial, Pagan Press, Juni 2025.
Harian Kompas (berbagai edisi, 1975–1998) sebagai sumber penguat narasi primer dalam berbagai artikel buku ini.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 1995.
Evers, Hans Dieter, Southeast Asian Modernities, 2013