Kaba “Catuih Ambuih”


Bagindo Muhammad Ishak Fahmi


APA yang membedakan penjajah dari bukan penjajah (patriot)? Barangkali jawabannya adalah rasa cinta tanah air. Seorang penjajah menindas dan mengeksploitasi demi kepentingannya sendiri, sementara seorang patriot, anak bangsa yang mencintai negerinya, akan mengutamakan kemaslahatan bersama, menjaga martabat bangsanya, dan membangun kedaulatan nasional. 

Dalam adat Minangkabau, filosofi ini terangkum dalam ungkapan bijak: “tagak kampuang paga kampuang, tagak nagari paga nagari”—yang bermakna bahwa siapa pun yang berdiri di tengah kampung atau nagari haruslah menjadi pelindung bagi masyarakatnya, bukan sebaliknya.

Namun hari ini, banyak dari kita yang justru menjadi penjajah di negeri sendiri. Ketika kekuasaan tidak lagi digunakan untuk menyejahterakan rakyat, dan kekayaan alam dieksploitasi untuk kepentingan kelompok kecil, maka di sanalah penjajahan baru berlangsung, meski pelakunya ber-KTP Indonesia. Bentuknya tidak lagi berupa kolonialisme, tetapi pengkhianatan terhadap rasa kebangsaan.

Globalisasi, yang semestinya memperkaya perspektif dan jejaring internasional, malah dijadikan alasan untuk mengikis nasionalisme. Dunia hari ini mempromosikan konsep “insan global”. Ini tidak sepenuhnya keliru. Menjadi warga dunia yang terbuka adalah keniscayaan. Namun, ketika jargon ini disalahartikan menjadi permisif terhadap perilaku hedonistik, apatis, dan pragmatis, maka yang terjadi justru alienasi dari nilai-nilai kebangsaan.

Kita saksikan saat ini praktik menumpuk kekayaan demi kepentingan individu dan kelompok telah menjadi kelaziman. Korporasi menyimpan kekayaannya di luar negeri demi pajak yang lebih rendah, melemahkan likuiditas dalam negeri dan secara tidak langsung memperlemah nilai tukar rupiah. Ironisnya, para pelaku itu tak merasa bersalah. Mereka berdalih bahwa itu bagian dari strategi bisnis global.

Orientasi serba material ini menumbuhkan generasi yang tak lagi dibentuk oleh karakter, melainkan hanya dipersiapkan untuk menjadi “siap pakai” di pasar tenaga kerja. Pendidikan nasional kian menjauh dari pembentukan etika, moral, dan cinta tanah air. Akibatnya, anak-anak muda bukan lagi bertanya untuk siapa mereka mengabdi, tapi siapa yang sanggup membayar lebih.

Dalam dunia politik, undang-undang partai tak memberi ruang bagi meritokrasi. Rekrutmen politik cenderung transaksional. Ruang parlemen bukan lagi forum adu gagasan, melainkan panggung distribusi kekuasaan antar elite. Nepotisme dan kolusi tak sekadar penyakit bawaan, tapi seakan-akan telah menjadi “sistem imun” bagi partai-partai politik untuk bertahan hidup.

Meritokrasi yang buruk menciptakan mata rantai kelemahan di semua lini. Penegakan hukum lemah dan bersifat transaksional. Para pelanggar hukum besar bebas karena sistem penegakan hukum masih melindungi elite, sementara masyarakat kecil dihukum keras untuk kesalahan yang kadang sepele. Kita seperti membiarkan sungai hukum terus tercemar, lalu sibuk menyaring air di hilir dan lupa bahwa sumber pencemarannya justru berada di hulu.

Aparat penegak hukum sering kali berperilaku resisten terhadap kritik. Atas nama “nama baik institusi”, pelanggaran diselesaikan secara internal. Hasilnya? Perilaku menyimpang tetap berulang. Jika kesalahan tidak dikoreksi secara terbuka, maka perbaikan tidak akan pernah menjadi budaya.

Ormas yang menggunakan kekerasan dan premanisme tetap tumbuh subur, karena mereka dianggap memiliki nilai elektoral. Elite kekuasaan cenderung memelihara kelompok-kelompok ini untuk mengamankan agenda politik, bukan untuk menegakkan ketertiban. Akibatnya, kekerasan mendapat panggung, dan hukum kian kehilangan wibawa.

Dalam ranah kebijakan publik, berbagai keputusan strategis yang menyangkut eksploitasi sumber daya alam, pengembangan kawasan industri khusus, atau penetapan batas wilayah, sering kali diambil tanpa partisipasi publik yang memadai. Ketika konflik muncul, negara hanya memberi satu solusi: silakan gugat ke pengadilan. Ini bukan hanya bentuk pengabaian terhadap tindakan preventif, tapi juga tanda bahwa analisis risiko sosial telah diabaikan.

Ahli hukum tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar dari UGM pernah mengingatkan bahwa penguatan negara hukum tidak bisa hanya bertumpu pada kelembagaan formal. Ia harus ditopang oleh budaya hukum yang hidup di masyarakat, serta kemauan elite untuk tunduk pada aturan. Jika hukum dijadikan alat untuk melindungi kekuasaan, bukan untuk melindungi rakyat, maka negara akan menjelma menjadi negara predator.

Sementara itu, sosiolog Prof. Imam B. Prasodjo menilai bahwa erosi nilai-nilai sosial telah menjadikan masyarakat Indonesia lebih permisif terhadap ketimpangan dan ketidakadilan. Ketika publik terbiasa melihat pelanggaran hukum tidak ditindak, atau korupsi menjadi berita harian tanpa akibat nyata, maka lahirlah budaya apatis. Masyarakat kehilangan daya tahan terhadap ketidakberesan. Dalam kondisi demikian, penjajahan oleh anak bangsa sendiri menjadi hal yang bisa diterima secara sosial, meski tetap menyakitkan.

Lalu, apa yang mesti kita lakukan?

Pertama, kita perlu mendesak reformasi sistem politik berbasis meritokrasi. Partai politik harus membuka diri terhadap rekrutmen kader yang berbasis integritas dan kapasitas, bukan transaksi. UU partai harus direvisi untuk menutup ruang bagi politik dinasti dan jual beli jabatan.

Kedua, pendidikan harus dikembalikan pada akar pembentukan karakter. Kurikulum mesti menekankan nilai-nilai kebangsaan, etika publik, tanggung jawab sosial, dan cinta tanah air. Pendidikan karakter bukan sekadar mata pelajaran, tapi napas dalam setiap proses pembelajaran.

Ketiga, penegakan hukum harus dibenahi dari dalam. Tidak cukup hanya menambah lembaga pengawas atau membuat regulasi baru, tetapi harus ada reformasi mental di tubuh penegak hukum. Transparansi dan akuntabilitas mesti menjadi standar operasional, bukan sekadar jargon.

Keempat, negara harus berani menindak ormas yang menggunakan kekerasan dan ancaman. Kebebasan berserikat tidak boleh menjadi tameng bagi praktik premanisme. Negara hukum tidak boleh takut pada kekuatan jalanan.

Kelima, kebijakan publik harus dibangun dengan pendekatan partisipatif. Analisis risiko sosial dan lingkungan harus menjadi bagian integral dari setiap keputusan strategis. Negara harus hadir sebelum konflik terjadi, bukan setelah luka sosial terbuka.

Akhirnya, kita harus sadar bahwa penjajahan bisa lahir dari dalam. Ketika kekuasaan dan kekayaan digunakan tanpa tanggung jawab, ketika hukum menjadi alat kekuasaan, dan ketika pendidikan kehilangan arah moral, maka bangsa ini sedang berjalan menuju kehancuran yang diciptakan sendiri.

Maka, pertanyaannya bukan lagi siapa penjajah kita, tetapi siapa yang rela menjadi pelindung kampung dan nagari. Karena seperti kata orang Minang, “tagak kampuang paga kampuang, tagak nagari paga nagari”—di pundak kitalah pagar itu harus berdiri. Jika tidak, maka pagar itu akan roboh oleh tangan-tangan yang mengaku sebagai pemilik negeri, tapi bertindak seperti penjajah. (*)


Padang, 6/2025




 
Top