Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya


SEBENTAR lagi, kita akan menyaksikan wajah-wajah cemas para orang tua. Bukan karena anaknya sakit. Bukan pula karena kekurangan makan. Tapi karena musim menyekolahkan anak telah tiba.

Di sinilah titik awal yang mestinya penuh harapan, justru kita melihat paradoks yang menyakitkan.

Negeri ini telah menetapkan wajib belajar 9 tahun. Bahkan kini, mengarah ke 12 tahun. Artinya, negara telah menyediakan bangku untuk seluruh anak di negeri ini, karena negara berkewajiban memenuhi hak anak atas pendidikan.

Jika demikian, orang tua tak harus begadang, tak harus antre, atau berebut bagai lomba lari tanpa medali karena hak anak atas pendidikan telah dijamin oleh negara? Anak-anak kita pasti dapat bangku sekolah.

Namun mengapa banyak diantara orang tua bersusah payah mendapatkannya, bahkan harus berjuang seolah sedang mengemis? Banyak yang kesana kemari cari deking? Ada yang lewat jalur belakang. Pengusaha dan kalangan berduit, rela nyogok agar anaknya mendapat sekolah yang difavoritkan. Ada yang dibantu pejabat legislatif maupun eksekutif.

Bayangkan, mendapatkan bangku sekolah untuk belajar tentang kejujuran, harus diawali dengan ketidakjujuran, bermain curang, mengambil jatah yang lain.

Sekolah mencetak agar kelak anak-anak jadi pribadi jujur, namun guna mendapat bangku sekolah harus dilalui dengan ketidakjujuran.

Ini bukan sekadar ironi, ini luka sosial yang menetas dari sekolah, dari sistem yang semestinya bersih, namun penuh dinamika yang buram, terkadang kotor.

Dan tak berhenti di situ. Saat anak sudah masuk sekolah, orang tua tak benar-benar bisa bernapas lega.

Atas nama komite sekolah, orang tua/wali diminta membayar uang komite. Katanya bukan pungutan. Katanya ada kesepakatan. Tapi mengapa jika menolak, anak merasa terancam? Diperlihatkan hina. Intimidasi halus. Konon disepakati bersama, jelas ketidakjujuran mengatasnamakan kejujuran untuk kepentingan bersama.

Jika benar uang itu untuk sekolah, ke mana perginya, siapa yang menerima, dipakai apa? Jika benar bukan sekolah yang meminta, mengapa yang menerima sekolah itu juga? Jujur sekali ketidakjujuran itu. Semua berlindung di balik frasa legal: partisipasi masyarakat. Tapi di balik tirai kata-kata itu, ada pemaksaan halus, ada ketakutan yang sistemik.

Lalu kita lihat anak-anak SMP di kota Denpasar banyak yang tampak terbiasa menyusuri jalan raya dengan motor. Celana pendek seragam mereka sejatinya berkata jujur bahwa ia belum 17 tahun.

Terang-terangan mengenakan motor. Guru melihat, orang tua mengizinkan, polisi membiarkan. Yakin, semua tahu ini salah, tapi semua seakan tak peduli. Sejatinya anak-anak kita sedang belajar apa? Kejujuran, disiplin atau belajar kepalsuan?

Dunia ini sungguh paradoks. Kita menyekolahkan anak agar mereka jadi warga negara yang taat pada aturan, tapi di awal mereka diajarkan melanggar asal tahu cara melanggar, asal punya kuasa, asal bisa bayar denda jika ketahuan. Di awal…….

Lalu, kita berharap negeri ini bersih, adil, dan bermartabat? Tak ingin ada korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak ada kecurangan, disiplin dan patuh pada aturan.

Kita berharap pada siapa? Masihkah ada yang peduli?

Apa yang kita cari dalam pendidikan? Ilmu? Moral? Atau hanya gengsi, status, dan bangga anaknya sekolah di tempat favorit, meski harus menggadaikan nilai yang paling dasar: kejujuran.

Jika di awal sudah rusak, bagaimana ujungnya; apakah bisa lurus? Jika langkah pertama adalah kebohongan, bisakah kita sampai ke tujuan kebenaran?

Beginilah paradoks pendidikan kita: sekolah menjadi tempat belajar kejujuran, yang diawali dengan kebohongan yang kita pelihara bersama. Ini salah siapa? (*)


Denpasar, 15 Juni 2025





Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top