JAKARTA -- BMKG menyikapi hasil kajian Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait potensi tsunami dampak gempa megathrust di selatan Jawa yang bisa berdampak ke Jakarta. BMKG mengapresiasi riset tersebut.

"Pada dasarnya BMKG selalu mengapresiasi setiap hasil riset potensi bencana dengan skenario terburuk untuk tujuan membangun kesiapsiagaan masyarakat," kata Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, Sabtu (21/8/2021).

Ia mengatakan, riset diperlukan sebagai acuan langkah mitigasi tsunami. Dia meminta masyarakat tidak panik atas riset yang ada.

"Kajian ini dibuat bukan untuk membuat masyarakat resah, tetapi untuk menyiapkan strategi mitigasi yang tepat dan efektif guna mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi," katanya.

Daryono mengatakan tsunami di Selat Sunda dapat dipicu oleh erupsi gunung api dan gempa tektonik yang bersumber di zona megathrust. Berdasarkan catatan sejarah, tsunami akibat erupsi Gunung Krakatau pada 1883 mampu menjangkau pantai Jakarta karena tinggi tsunami di sumbernya lebih dari 30 meter.

"Tsunami pada 2018 lebih kecil sehingga tidak sampai Jakarta," katanya.

BMKG pun melakukan pemodelan tsunami untuk mengetahui apakah tsunami akibat gempa megathrust Selat Sunda dapat mencapai Jakarta. Dia mengatakan pemodelan tsunami Selat Sunda akibat gempa magnitudo 8,7 yang dilakukan BMKG menunjukkan bahwa tsunami dapat sampai pantai Jakarta.

"Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tsunami sampai di pantai Jakarta dalam waktu sekitar 3 jam setelah gempa, dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara-Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol-Tanjung Priok," ucap dia.

Ia menjelaskan pemodelan tsunami diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level). Dalam kasus terburuk, lanjutnya, jika tsunami terjadi saat pasang, tinggi tsunami dapat bertambah.

Ia menambahkan, ketinggian tsunami juga dapat bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan (subsiden).

"Pemodelan tsunami memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan persamaan pemodelan sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit gempa yang digunakan," jelasnya.

"Beda data yang digunakan, maka akan beda hasilnya, bahkan jika sumber tsunaminya digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda. Inilah sebabnya, selalu ada perbedaan hasil di antara pembuat model tsunami," tambahnya.

Sejarah Tsunami Batavia 1883

Tsunami pernah melanda pantai Jakarta akibat erupsi katastropik Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883.

Daryono mengatakan erupsi katastropik ini menyebabkan runtuhnya badan Gunung Krakatau ke laut serta terjadinya kontak material erupsi dengan air laut sehingga sehingga memicu tsunami lebih dari 30 meter.

Dahsyatnya tsunami mampu menimbulkan kerusakan di Pulau Onrust, yang merupakan bagian gugus pulau di Kepulauan Seribu.

Sejak 1848, Pulau Onrust dan sekitarnya difungsikan pemerintah Kolonial Belanda sebagai Pangkalan Angkatan Laut, namun sarana ini rusak berat diterjang tsunami pada 1883.

Selain menerjang Pulau Onrust, tsunami juga menerjang pantai Batavia. Gambaran pantai Batavia dan Tanjung Priok yang dilanda tsunami saat itu sangat jelas dilaporkan Bataviaasch Handelsblad yang terbit pada 28 Agustus 1883.

Tsunami dilaporkan membanjiri daratan dan mengempaskan perahu-perahu di pantai. Tsunami juga menimbulkan kekacauan di Pelabuhan Tanjung Priok hingga menenggelamkan dua kapal.

Dampak tsunami ini juga merusak beberapa jembatan dekat muara sungai di Batavia.

"Fakta tsunami 1883 menjadi dasar bahwa tsunami dahsyat di Selat Sunda dapat berdampak hingga pantai Jakarta," ungkapnya.

#detik



 
Top