Oleh: Goenawan Mohamad (GM) 


SIAPA yang lahir setelah 1990 tak akan merasakan getaran malam 9 November 1989: ribuan penduduk BerlinTimur menghancurkan tembok yang hampir 30 tahun lamanya mengungkung mereka — tembok yang melambangkan tegangnya “perang dingin” yang membelah manusia di mana-mana di abad ke-20.

Di dasar, Berlin sebuah luka: lambang kekalahan Jerman Nazi, kota dengan puing-puing perang yang diduduki dan dibagi-bagi   kekuasaan yang menang,  yang biasa disebut “Barat” dan “Timur”.   

 13 Agustus 1961, pembagian “Barat” dan “Timur” itu secara brutal dipertegas:  Uni Soviet mendirikan dinding setinggi 4,2 meter sepanjang 43 kilometer  yang dijaga pasukan bersenjata dengan teropong pengintai dan anjing-anjing galak. Hubungan sosial dan mobilitas pribadi penduduk Berlin putus, bersama  terbelahnya geografi. Stasiun kereta api di Friedrichstraße yang menghubungkan kedua wilayah dengan segera jadi  ‘Tränenpalast‘, Istana Airmata, di mana sahabat dan saudara dipaksa berpisah dalam  ruang  hidup yang mungkin tak akan  bertaut lagi.

Selama pemaksaan hampir 30 tahun itu, lebih dari 100 ribu warga Jerman Timur mencoba melarikan diri ke Barat. Lebih dari 600 tewas, baik ditembak mati para penjaga  atau karena kecelakaan ketika mencoba menerobos Tembok. 

Maka di malam 9 November 1989 itu orang bersuka ria, bersama suara martil dan sekop yang bertalu-talu menghancurkan sang Tembok — dan  “Republik Demokrasi Jerman” tak berdaya mencegah. Penguasa komunis itu tak lama kemudian rubuh. Juga Uni Soviet. “Perang Dingin” usai. Dunia lega.

Dunia — tak cuma Eropa. Sebab “Perang Dingin” dialami di lima benua. Perang itu membelah Korea jadi dua bagian yang bermusuhan (sampai sekarang). Juga memecah Vietnam, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin,  semua  dengan darah dan mesiu. “Perang Dingin” juga yang menggalakkan permusuhan di Indonesia sejak kemerdekaan, antara kaum komunis dan antikomunis   — dengan  kekerasan yang menakutkan di tahun 1965.

“Perang Dingin”, dengan kata lain, sama sekali tak dingin, meskipun ia bisa dilihat mirip “perang kembang” dalam wayang kulit: bukan perang final  Bharatayudha.  Bentrokannya  bersifat terbatas secara geografis., dengan jumlah musuh yang juga terbatas. Ia hanya semacam  “cobaan” dalam perjalanan.  

Analogi ini tentu tak  memadai. Sebab berbeda dengan perang antara Cakil dan Arjuna yang hanya  seperti selingan pendek,  “Perang Dingin” yang terus menerus berlangsung sejak akhir 1940-an mengandung ketegangan yang mengarah ke sebuah Armagedon — ketika Uni Soviet (Blok “Timur”) dan Amerika-Eropa (Blok “Barat”)  menembakkan puluhan senjata nuklir mereka.  

“Perang Dingin” menakutkan dalam arti ia bisa jadi prolog dari sebuah pertarungan  yang akan menghancurkan siapa saja — perang  dengan “collateral damage” yang tanpa batas. Paradoks “Perang Dingin” adalah justru karena semua pihak tahu akirnya sebuah laku bunuh diri bersama, perang itu ada, agar Armagedon tak bisa ada, tak terjadi. 

Tapi selama “tak terjadi” itu, perang ini  melibatkan secara intens hal-hal di luar pertarungan militer.  Baik “Barat” maupun “Timur” menganggap konfrontasi yang berlangsung bukan bentrokan dua pasukan, melainkan benturan dua pandangan tentang sejarah, sikap hidup, dan nilai-nilai yang menyebar ke pelbagai bangsa. Yang satu biasa disebut “liberal”, lawannya “sosialis”. Para penganut yang satu  menolak yang lain,meskipun tak niscaya  membinasakannya dengan senjata. Yang bising hanya mobilisasi rakyat dan propaganda yang tak habis-habis.

Pertarungan politik itu  disertai pertarungan dalam bidang yang dalam  perang-perang besar sebelumnya tak dilibatkan: kegiataan artistik dan intelektual.  Buku, film, musik, seni rupa, ikut dalam  “Perang Dingin” ini.

Contoh yang  penting adalah berdirinya Congress for Cultural Freedom (CCF) pada 26 Juni 1950 di Berlin Barat. Didukung para cendekiwan dan seniman, CCF  meyakini ide bahwa manusia memerlukan kemerdekaan dalam penciptaan seni dan pengembangan ilmu. Organisasi ini, yang kemudian ternyata dibeayai CIA, adalah antitesis terhadap organisasi yang dibentuk Uni Soviet pada Agustus 1948 di Polandia, “Kongres Intelektual untuk Perdamaian” dengan dukungan Partai Komunis yang digerakkan  di mana-mana. Jika CCF berbicara tentang “kemerdekaan”, Kongres yang berpusat di Polandia  berbicara tentang “perdamaian” — tanpa takut digugat apakah suara kedua seteru itu tulus.  

Sejarah yang gaduh dan ganas itu Alhamdulillah berakhir setelah 9 November 1988…

Akankah ia berulang? Hari-hari ini, setelah Putin menyerbu Ukraina dan dunia seakan-akan terbelah lagi, orang berbicara tentang  “Perang Dingin” yang baru.

Tapi  tidak. Zaman berbeda. Kini tak ada lagi bentrokan gagasan tentang dunia baru — gagasan  yang akan mengubah manusia sepenuhnya, baik dalam pilihan ekonomi maupun kebudayan. Tak ada persaingan antara “sosialisme” dan “kapitalisme” atau antara kekuatan “demokratis” dan yang “anti-demokratik”.  Perbedaan antara “demokrasi”di Rusia yang memusuhi NATO dan Hungaria yang  anggota NATO  tak jelas: keduanya ditandai kekuasaan orokratis. Perbedaan antara kapitalisme dan sosialisme juga entah di mana dalam hal Rusia dan Eropa Barat.  Tak ada juga gerakan politik yang dulu diperjuangkan Partai Komunis dan lawannya. 

Walhasil, yang sekarang terjadi bukan  “Perang Dingin”.  Yang terjadi “Perang Kering” — perang yang alasannya tak perlu menggugah hati orang banyak.  Semacam gerak refleks jari dipicu bedil.

#halaman (FB) resmi Goenawan Mohamad






 
Top