JAKARTA -- Pemerintah berpandangan tindak pidana pemerkosaan tidak diatur dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), melainkan diatur di RKUHP. Pembahasan RUU harapan banyak orang ini menuai kritik.

"Ini tidak baik-baik saja," kata pakar hukum, Bivitri Susanti, dalam perspektifnya, Selasa (5/4/2022).

Niatan penghapusan pasal soal perkosaan dari RUU TPKS ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) saat rapat bersama DPR, 31 Maret pekan lalu. Eddy menyatakan tindak pidana pemerkosaan sudah diatur rinci dalam RUU KUHP, jadi tidak perlu diatur di RUU TPKS.

Bivitri Susanti yang merupakan ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini menjelaskan, KUHP mengatur secara materiil semua hukum pidana sedangkan RUU TPKS ini bakal mengatur sangat detail soal kekerasan seksual. Jadi, pasal soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi juga tidak perlu dihapus dari RUU TPKS.

"Tidak perlu khawatir bentrok (antara pasal perkosaan di RUU TPKS dengan di RKUHP) karena dalam pola penyusunan peraturan perundang-undangan kita, ada proses yang namanya harmonisasi dan sinkronisasi oleh Kemenkumham," kata Bivitri.

Proses sinkronisasi di DPR juga bakal menjaga bentroknya pasal-pasal perkosaan di RUU TPKS vs RKUHP. Jadi, tidak perlu pembuat undang-undang menunggu RKUHP, karena RUU TPKS perlu segera disahkan sesuai harapan publik. DPR menargetkan RUU TPKS disahkan di rapat paripurna pada 14 April, alias sebentar lagi. Tak perlu menunggu RKUHP mengatur masalah pidana perkosaan.

"Menunggu RKUHP berarti menghadapi ketidakjelasan karena bahkan sampai sekarang prosesnya belum dimulai dan RUU itu sangat tebal. Daripada perkosaan dan aborsi malah mendapatkan ketidakpastian dalam penanganan yang lebih baik, sebaiknya dimasukkan dalam RUU TPKS," tutur Bivitri.

Pembentukan UU TPKS, sebagaimana pembentukan UU lainnya, perlu sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Tujuan RUU TPKS sudah jelas, yakni melindungi masyarakat dari kekerasan seksual. Ini urgen. Jangan tunggu RKUHP.

"Justru data menunjukkan, kasus perkosaan dan aborsi ini tinggi sekali, jadi harus mendapat prioritas penanganan," kata Bivitri.

Bila pidana perkosaan diatur dalam RKUHP, Bivitri khawatir dengan aspek kesatuan pengaturan soal kekerasan seksual. Kekhawatiran kedua yakni soal ketidakpastian kapan RKUHP akan diundangkan. Di sisi lain, Indonesia darurat kekerasan seksual.

Ninik Rahayu selaku Direktur JalaStoria dan Koordinator Advokasi RUU TPKS dari Maju Perempuan Indonesia (MPI) mengawal perkembangan pembahasan RUU TPKS ini. Ia menjelaskan, masyarakat sipil mengusulkan tindak perkosaan ini menjadi salah satu tindak pidana di RUU TPKS. Akhirnya, perkosaan menjadi satu dari sembilan tindak pidana kekerasan seksual pada draf Agustus dan November 2021.

"Kemudian pada Desember 2021 dan Februari 2022, tidak ada lagi. Tidak ada lagi rumusan soal perkosaan. Alasannya, perkosaan dan pemaksaan aborsi akan dimasukkan ke RKUHP," kata Ninik Rahayu.

Ia tidak sependapat dengan Wamenkumham Eddy Hiariej yang ingin 'memindahkan' pasal pidana perkosaan ke RKUHP. Soalnya, KUHP belum mampu sepenuhnya menjangkau perempuan dan anak perempuan korban perkosaan karena hanya terbatas pada kekerasan dan ancaman kekerasan. Dia merujuk ke Pasal 284 KUHP dan Pasal 479 RKUHP.

"Faktanya, perkosaan juga dapat dilakukan dengan cara tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau cara-cara lain di luar penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan," ujarnya.

KUHP dan RKUHP juga dinilainya tidak mengatur perkosaan dalam konteks 'victim precipitation', yakni tindakan korban yang diasumsikan pelaku bahwa korban setuju. Padahal, korban mungkin tidak setuju, atau setuju berhubungan intim namun tidak mau berhubungan seksual, atau awalnya setuju namun kemudian ingin menghentikan tindakan seksual itu.

"Victim precipitation banyak terjadi pada kasus perkosaan dalam pacaran dan konteks perempuan yang dilacurkan (dipaksa berhubungan tanpa kondom, misalnya)," kata Ninik Rahayu.

KUHP dan RKUHP juga tidak bisa mengakses kekhususan dalam delik khusus RUU TPKS. Akibatnya, saksi harus dua orang. Adapun RUU TPKS tidak perlu dua orang, cukup satu saksi dan alat bukti.

Selain itu, RUU TPKS ini adalah 'barang' yang sudah mendesak dibutuhkan masyarakat. Pasal perkosaan juga harus masuk ke RUU TPKS, tanpa perlu menunggu RKUHP disahkan. RUU TPKS juga dinilai Ninik mampu menangkap adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban, sedangkan di KUHP dikhawatirkan tidak demikian.

"Pada KUHP masih digantungkan pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang belum paradigmatik dengan konsep pemulihan pada korban yang mayoritas perempuan dan kelompok rentan perkosaan," katanya.

#dtc/bin




 
Top