PASURUAN, JATIM -- Terdakwa Achmad Son Haji alias "Jibon" terbukti melakukan korupsi dalam proyek kelompok masyarakat (pokmas) Kota Pasuruan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut koordinator lapangan (korlap) proyek pokmas itu lebih berat ketimbang  enam terdakwa lain.

Agenda pembacaan tuntutan digelar di pengadilan tindak pidana korupsi Surabaya dalam waktu yang berbeda. Sidang menghadirkan terdakwa Achmad Son Haji, M. Hilmi dan Sugiman, Rabu (7/3/2023). Sedangkan tuntutan terhadap terdakwa Rupiah, M Ichwan, M Jamil dan Wildan digelar pada Rabu (8/3/2023) lalu.

Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Pasuruan Wahyu Susanto mengatakan, terdakwa Jibon dinilai terbukti korupsi sebagaimana pada dakwaan kesatu subsidiair. Yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. JPU menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Jibon dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani.

“Dengan denda sebesar Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan. Serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 5 juta,“ beber Wahyu.

Sementara enam terdakwa lainnya dinyatakan terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama. Sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP. “Enam terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 9 bulan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani,“ ungkap Wahyu.

Masing-masing juga dituntut membayar denda sebesar Rp 50 juta. Hanya saja, beban uang pengganti kerugian negara yang mesti mereka bayarkan berbeda. Wahyu mengatakan, besaran uang pengganti yang harus dikembalikan para terdakwa sesuai dengan fakta yang terungkap selama pembuktian perkara.

Terpisah, Indra Bayu selaku penasihat hukum enam terdakwa tetap menegaskan bahwa perkara itu sebenarnya error in persona atau kekurangan pihak. Ia juga menilai JPU mengabaikan Perma Nomor 1/2020 yang mengatur jenjang dan urut-urutan jabatan dalam pidana korupsi.

“Sedangkan klien kami ini orang kecil. Ada mahasiswa, kuli, ibu rumah tangga. Bagaimana mungkin dipidanakan dengan tuntutan korupsi?,“ ungkap Indra.

Bila memang ada kerugian negara, kata Indra, aparat seharusnya mengungkap pihak yang memiliki jenjang jabatan lebih tinggi. 

“Karena ada ilmu baru juga dalam Edaran Kemen PAN RB bahwa bahwa tidak semua kerugian negara bisa dimasukkan ke pidana korupsi. Nanti secara detail kami sampaikan dalam nota pembelaan,“ bebernya.

#rbn/tom/fun




 
Top