JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memproses hukum perwira TNI di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) yang terlibat korupsi. 

“KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi,” Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, menyampaikan pernyataan bersama koalisi dalam keterangan tertulis, Jumat (28/7/2023).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas Imparsial, Elsam, Centra Initiative, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia. Tergabung pula Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Masyarakat, Human Rights Working Grup (HRWG), The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, dan Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AIDP).

Al Araf mendesak KPK untuk mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kepala Basarnas dan anak buahnya tersebut. Koalisi menilai KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas. “Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas,” kata Al Araf.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas dan Koorsmin Basarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Isnur mengatakan korupsi merupakan kejahatan tindak pidana khusus. Sehingga KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam korupsi tersebut.

“KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum),” kata Isnur.

Isnur mengatakan dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Koalisi berpandangan permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI akan menghalangi pengungkapan kasus secara transparan dan akuntabel. Selain itu, ujar Isnur, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum ke Puspom bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya.

Isnur menjelaskan, sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan, dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Padahal, lanjut Isnur, dalam Pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan penetapan tersangka oleh KPK dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap. “Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap,” ujar Isnur.

KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka dalam kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas pada Rabu (26/7/2023). 

Selain Henri, KPK juga menetapkan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus yang sama.

“Diduga HA (Henri Alfiandi) bersama dan melalui ABC (Arif Budi Cahyanto) mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp 88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, 26 Juli 2023.

KPK juga menetapkan Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA) sebagai pemberi suap.

Adapun ketiga proyek tersebut antara lain pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan, pengadaan public safety diving equipment, dan pengadaan Remotely Operated Vehichle (ROV) untuk Kapal Negara SAR Ganesha.

Dalam kasus ini, KPK menjerat para pemberi suap dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sementara untuk Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya, KPK akan menyerahkan kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI karena keduanya masih merupakan perwira aktif.

#tpc/eys/ary/amr







 
Top