PENINGKATAN jumlah investor pasar modal menarik dicermati. Pada April 2021, jumlahnya 5.088.093 investor atau naik 31,11 persen dalam empat bulan pertama tahun ini. Sejak 2018, jumlah investor naik 214,2 persen. Investor saham sendiri naik 169,75 persen.

Bila kita telisik, jumlah investor berpenghasilan Rp10juta — Rp100 juta per bulan cukup dominan. Bahkan, investor yang berusia muda atau di bawah 30 tahun jumlahnya paling banyak.

Sebetulnya fenomena ini tidak hanya di Indonesia. Di AS, jumlah “amateur investor” juga meningkat tajam. Menurut Bloomberg Intelligence, 2021 ini jumlahnya rata-rata 23%, naik dua kali lipat lebih dibanding 2019. Situasi tersebut dimulai sejak akhir Maret 2020 lalu.

Apakah trend peningkatan tersebut karena munculnya kesadaran baru berinvestasi? Atau akibat muncul sesaat seiring fenomena work from home?

Harapannya, momentum dan gairah investasi mereka lahir dari kesadaran berinvestasi dan pengetahuan yang memadai agar animo mereka dalam berinvestasi terus meningkat.

Berinvestasi saham memang menggiurkan. Betapa tidak, investor banyak menikmati value creation yang bervariasi 10 persen hingga 2.000 persen. Bayangkan, jika Anda membeli saham satu juta rupiah, dalam 5 bulan berikutnya, uang Anda bertambah jadi Rp20 juta.

Setidaknya ada dua pemahaman penting bagi investor pemula: pertama, memahami faktor yang membuat saham akan naik, dan kedua, memahami apakah harga saham yang berlaku hari itu adalah harga fundamental atau harga sentimen.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga saham naik. Pertama, kinerja perusahaan. Kinerja bisnis yang meningkat dan rencana bisnis yang menarik dapat mendorong harga sahamnya naik.

Kedua, manajemen dan pemilik perusahaan yang handal dan trustworthy. Aksi korporasi mereka kredibel dan punya reputasi baik, sehingga tingkat keyakinan investor meningkat.

Ketiga, prospek industri yang cerah. Menarik disimak bahwa sari 20 perusahaan terbesar di dunia dalam hal market capitalization pada 1989, tidak satu pun perusahaan tersebut masuk ke dalam jajaran 20 perusahaan terbesar dalam hal market cap pada 2021.

Beberapa sektor, seperti farmasi dan kesehatan, di era pandemi ini, harga sahamnya meningkat tajam. Begitu pula emiten perbankan digital dan perusahaan berbasis teknologi.

Keempat, situasi makro ekonomi dan politik suatu negara di mana pasar modal atau emiten berada. Krisis ekonomi dan politik di sebuah negara dapat mengganggu psikologi investor pasar modal dan membuat harga saham emiten anjlok.

Selain memahami faktor tersebut, investor muda dan pemula hendaknya memahami harga saham emiten yang dimilikinya dalam aktivitas transaksi perdagangan harian. Hal ini penting untuk mengetahui apakah harga tersebut merupakan harga fundamental atau sentimen.

INDIKATOR

Ada banyak indikator yang umum digunakan untuk menilai harga saham fundamental, antara lain price to book value (PBV) dan price to earning ratio (PER). Ada juga price to revenue ratio (PRR), EBITDA multiple ratio, value per customer ratio dan banyak lagi.

Rasio-rasio tersebut berguna untuk menilai apakah harga saham tersebut mahal atau murah, saham dilepas atau dipertahankan.

Sementara itu, harga sentimen adalah harga saham yang nilainya sudah sangat tinggi, sudah tidak sesuai lagi dengan harga fundamentalnya. Harganya sudah terlalu mahal, tetapi tetap menjadi incaran para investor khususnya investor ritel.

Contohnya Tesla, di mana harga sahamnya terlalu mahal dan tidak mencerminkan nilai fundamentalnya. Investor institusi tidak tertarik, tetapi bagi investor ritel individual menarik. Harga saham yang demikian adalah harga sentimen. Dengan kedua pemahaman tersebut, diharapkan investor pemula tetap bergairah dalam berinvestasi saham di pasar modal.

Di sisi lain, perusahaan emiten di bursa saham tentu diharapkan terus meningkatkan kinerjanya, meningkatkan kemampuannya mencetak laba, serta disiplin membagikan deviden secara konsisten di masa depan.

Selain itu, emiten juga hendaknya tidak mudah mengumbar janji yang tidak sesuai atau prospek yang tidak realistis sehingga dapat mempengaruhi investor membeli sahamnya secara tidak sehat. Investor memang tergerak membeli saham karena prospek, tetapi hendaknya emiten tetap realistis dalam menyampaikan prospek industri atau perusahaannya.

Meski ada istilah caveat emptor atau let the buyer beware, investor harus jeli dengan saham yang dibeli dan emiten tetap perlu menjaga janji dan kinerja yang konsisten dan predictable. Semua dilakukan agar kita dapat menjaga momentum kenaikan jumlah investor individual ini sebagai momentum kebangkitan investor ritel pemula di pasar modal. Semoga!

#m.bisnis.com





 
Top