PADANG -- Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar) telah menghentikan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi bantuan Covid-19 di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. 

Menindaklanjuti hal itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang berusaha menarik benang merah dari persoalan tersebut, lantaran ada berbagai kejanggalan yang mestinya bisa menjadi jalan bagi polda untuk tindaklanjut, bukan malah memilih jalan menghentikan penanganan perkara tersebut.

Direktur LBH Padang, Indira Suryani mengatakan, masyarakat sipil anti korupsi dari LBH Padang merasa Polda Sumbar "sangat main-main" dalam menangani perkara tersebut.

"Saya tidak tahu jurus mabuk apa yang digunakan Polda Sumbar untuk menghentikan penyelidikan ini, karena jika kita cermati laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan hasil pansus sudah nyata bahwa jelas sekali ada dugaan korupsinya. Misalnya fakta pemahalan harga dan nepotisme," katanya, di Padang, Kamis (24/6/2021).

Menurutnya, pemeriksaan Pansus DPRD Sumbar dan hasil pemeriksaan BPK seharusnya membantu Polda Sumbar untuk menangani permasalahan dugaan korupsi dengan serius. Dia dan masyarakat sipil anti korupsi Sumbar telah melakukan berbagai hal.

BACA JUGA: Dugaan Korupsi Dana Covid-19 di BPBD Sumbar, Polda Hentikan Penyelidikan

"Pertama kami telah mengirimkan surat ke pada BPBD Sumbar untuk menanyakan besaran dana yang ada untuk penanganan Covid-19, meminta data perusahaan yang terlibat, dan data lainnya bagaimana BPBD mempertanggungjawabkan secara akuntable dana Covid-19 di Sumbar. Kami tidak ingin terjadi kembali hal serupa di tahun ini. Ini bukan bentuk kelalaian melainkan suatu kesengajaan, sebab banyak nepotisme untuk mengadakan handsanitizer, bahkan menunjuk perusahaan yang tidak kompeten. Kekecewaan kami lebih besar kepada Bank Nagari, BUMD yang tidak menjaga dana dengan baik. Kenapa ada pembayaran cash, padahal itu terlarang," katanya.


Kejanggalan-kejanggalan itulah saat ini yang sedang coba ditemukan jawabannya oleh LBH Sumbar. Selain itu, katanya, tidak hanya terkait penggelapan dana Rp4,9 miliar yang dilaporkan ke Polda Sumbar dan dihentikan penyelidikannya. Ada lagi terkait pengadaan asmat dan masker medis. Dari hasil audit BPK ada dana Rp7,6 miliar, yang sudah dilaporkan oleh anggota dewan ke KPK.

"Kalau dengan itu saja sudah Rp12 miliar, belum item bantuan dana Covid-19 yang lainnya. Ini sedang kami mintakan informasi ke BPBD Sumbar," ujarnya.

Selain itu, pihaknya dari masyarakat sipil juga mengirimkan surat ke Gubernur Sumbar terkait tindakan apa yang dilakukan oleh gubernuur atas situasi ini. Bagaimana jaminannya bahwa 2021 tidak akan terjadi lagi hal serupa.

Pihaknya merasa ada situasi politik dengan indikasi ketika gubernur tidak tegas, kemudian polda menghentikan penyidikan hanya karena statemen satu saksi ahli dari Universitas Trisakti. Sementara masih banyak ahli yang lain yang dirasa perlu untuk diperhatikan pandangannya.

Melalui pernyataan (saksi ahli dari Universitas Trisakti-red) tersebut dianggap sudah clear dengan pengembalian dana, padahal pasal 4 UU No. 31 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bahwa pengembalian tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Jika hal itu telah dianggap selasai, kata Indira, dengan pengembalian dana, hal itu murni pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kopolisian atau aparat hukum.

Ada dua hal yang secepatnya dilakukan oleh masyarakat sipil anti korupsi dari LBH Padang. Pertama, menyurati Polda Sumbar terkait kenapa menghentikan penyidikan, kedua menyurati Bank Nagari untuk meminta klarifikasi apakah Bank Nagari tidak ada SOP terkait pembayaran yang dilakukan secara cash.

"Padahal, sudah ada aturan dari gubernur tidak boleh melakukan tranksaksi tunai," katanya.

Ia menyebutkan, Polda Sumbar mengatakan Rp4,9 miliar sudah dikembalikan dan itu tidak ada lagi tindak pidananya. Sementara menurutnya berdasarkan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pengembalian uang negara tidak serta merta menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.

Kemudian, dilihat dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, memang BPK melakukan pemeriksaan dan diberikan waktu 60 hari untuk mengembalikan ke khas daerah.

Tapi, tidak ada pasal dalam UU itu yang mengatakan pengembalian menghapus tindak pidana. Menurutnya Polda Sumbar mengeluarkan argumentasi sesat yang mereka lahirkan. Sebab Polda menggunakan putusan MK No. 25 tahun 2016, dan delik ini menjadi delikma terbenam.

"Jika logikanya demikian, berarti selama ini Polda berkontribusi melindungi koruptor dengan melakukan argumentasi hukum yang sesat," sebutnya.

Hingga kini, kata Indira, data yang diminta LBH ke BPBD belum ditanggapi. Jika tidak ditanggapi oleh BPBD, berarti tidak mau memberikan data. Padahal dalam UU 14 2008 dikatakan bahwa informasi terkait penggunaan dana tersebut berkala sekali 6 bulan harus diinformasikan tanpa diminta publik.

Ia mengatakan, jika Polda tidak menanggapi terkait perkara dugaan tindakan pidana korupsi, maka LBH Padang akan membawa langkah penegak hukum yang lain untuk melaporkan kasus itu kembali dan memberikan data-data terkait.

#rel




 
Top