JAKARTA -- Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kecewa atas banyaknya narapidana koruptor yang mendapatkan remisi berujung bebas bersyarat. Tindakan itu seolah memberi pesan kepada masyarakat bahwa melakukan korupsi tidak menakutkan karena hukuman yang dijatuhkan pada terdakwanya tidak memiliki efek jera.

Tanggapan tersebut menyusul bebas bersyaratnya terpidana korupsi seperti mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah dan mantan Jaksa, Pinangki Sirna Malasari sebagai penghuni Lapas Kelas IIA Tangerang pada Selasa (6/9/2022).

"MAKI menyatakan kecewa dengan banyaknya remisi dan bebas bersyarat untuk napi koruptor. Ini menjadi pesan bagi masyarakat, korupsi tak berefek hukum menakutkan. Pesan efek jera tidak sampai karena nampak hukumannya sudah ringan," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada merdeka.com, Rabu (7/9/2022).

Salah Menghitung Remisi

Ia mempertanyakan keringanan potongan remisi malah berujung putusan bebas bersyarat sehingga tidak sesuai dan membuat hukuman menjadi ringan. Dalam ketentuannya, aturan mendapatkan bebas bersyarat yakni sudah menjalani 2/3 dari masa hukuman padahal sebelumnya sudah mendapatkan potongan remisi.

"Misalnya 6 tahun, kan 2/3nya mestinya 4 tahun. Selama ini dihitung, dipotong dulu remisi 1 tahun sehingga 2/3nya tinggal 3 tahun lebih dikit. Itu cara menghitung yang salah, remisi itu dari keseluruhan hukuman bukan setelah dipotong remisi. Saya menyesalkan potongan remisi itu digabung, potong remisi dulu baru bebas bersyarat," kata Boyamin.

"Pesan jera sampai ke masyarakat sehingga hukuman biasa aja untuk korupsi, orang sudah tidak takut lagi. Ini disesalkan," tambahnya.

Kendati demikian, Boyamin mencermati perihal aturan remisi bebas bersyarat memang menjadi kehendak dari DPR, termasuk untuk kasus korupsi.

"DPR sekarang itu menurut saya persepsi terhadap korupsi tidak penting lagi sehingga kemudian membolehkan fasilitas pengurangan milik semua kasus pidana termasuk korupsi," katanya.

Boyamin berharap hakim memberikan hukuman yang tinggi kepada pelaku korupsi dan sekaligus pencabutan hak. Bukan hanya terkait hak politik, tapi juga pencabutan hak untuk pengurangan hukuman.

"Sudah berlaku di Amerika banyak kasus-kasus yang profil tinggi kemudian dicabut haknya untuk mendapatkan pengurangan, nah ini harusnya juga berlaku di Indonesia," tuturnya.

Ratu Atut dan Pinangki Bebas Bersyarat

Sebelumnya, Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, menghirup udara bebas, Selasa (6/9/2022). Selain Atut, mantan Jaksa, Pinangki Sirna Malasari juga bebas dari penghuni Lapas Kelas IIA Tangerang.

"Hari ini tidak hanya beliau (Ratu Atut), bersama beliau kita bebas bersyaratkan juga ada Pinangki, ada Mirawati dan bu Desi. Semua Tipikor," kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkum HAM Provinsi Banten, Mas Juno, ditemui di Lapas Kelas II A Tangerang, Selasa (6/9/2022).

Ia menyebutkan, untuk terpidana mantan Jaksa Pinangki, diungkapkan Mas Juno, telah menjalani dua tahun masa kurungan di Lapas Kelas IIA Tangerang.

Dua nama wanita lain yang bebas yakni Desi Ariyani dan Mirawati Basri. Diketahui, Desi Ariyani mantan Dirut Jasa Marga, dan Mirawati Basri adalah terpidana kasus pengurusan impor bawang.

Empat terpidana itu, lanjutnya, memperoleh pembebasan bersyarat sejak 6 September 2022 berdasarkan keputusan Kementerian Hukum dan HAM RI.

"Selanjutnya beliau menjalani masa pembimbingan dan pengawasan di balai permasyarakatan. Ibu Atut di Bapas Serang dan Pinangki di Bapas Jakarta Selatan," tegasnya.

Menurut Mas Juno, pembebasan bersyarat terhadap empat wanita terpidana korupsi itu, telah dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Dalam proses pembebasan bersyarat empat terpidana korupsi tersebut kata Mas Juno, selanjutnya diantar oleh oleh Lapas Kelas IIA Tangerang, ke pihak kejaksaan dan Bapas.

#mdk/bin




 
Top