JAKARTA -- Tiga hari menjelang pencoblosan pemilihan umum (Pemilu) 2024, rumah produksi Watchdoc merilis film berjudul Dirty Vote. Sejak 24 jam tayang di akun YouTube Dirty Vote, film dokumenter itu telah ditonton sebanyak 3.726.150 kali.

Pada 13 April 2019, juga menjelang pemilu, Watchdoc merilis film Sexy Killer. Lantas, apa bedanya kedua tayangan film dokumenter tersebut?

Sexy Killers: Elite di balik tambang batu bara

Dilansir dari Tempo, Sexy Killers mengungkap keberadaan elite politik dan jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) di balik kepemilikan tambang batu bara dan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia.

Batu bara disebut dalam film itu, tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan melainkan pula mengancam kesehatan manusia.

Film ini mengambil latar di Pulau Kalimantan, Bali, dan Jawa ini yang menggambarkan hancurnya ruang hidup masyarakat karena investasi batu bara.

Selain itu film itu menggambarkan pula turunnya daya dukung lingkungan di Kepulauan Karimun Jawa karena transportasi batu bara menggunakan tongkang hingga merosotnya kualitas kesehatan masyarakat terdampak PLTU batu bara di Panau, Sulawesi Tengah.

Di samping itu, salah satu aspek yang dibahas dalam film berdurasi 1,5 jam tersebut adalah lokasi bekas tambang batubara yang tidak direklamasi atau diuruk kembali hingga mengakibatkan kubangan dalam seluas ratusan ribu hektare.

Banyak pemegang konsesi tambang yang tidak melakukan reklamasi dengan semestinya. Setidaknya ada puluhan warga yang meninggal karena tenggelam dalam lokasi tersebut.

Sexy Killer meraih Ramon Magsaysay Award 2021. Watchdoc dinyatakan sebagai pemenang di kategori Emergent Leadership in Organisation.

Watchdoc menjadi satu-satunya pemenang yang merupakan organisasi pada tahun ini dan satu-satunya organisasi dari yang selama ini pernah menerima kategori yang sama.

“Sebuah rumah produksi yang dengan kreatif mengkombinasikan film dokumenter dan platform alternatif untuk mengangkat isu-isu yang tak terekspos,” begitu Watchdoc Media Mandiri atau Watchdoc diperkenalkan di antara para peraih penghargaan pada tahun ini dalam situs rmaward.asia, Selasa 31 Agustus 2021.

Dewan Pengawas di Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) menilai Watchdoc yang didirikan Dandhy Laksono and Andhy Panca Kurniawan pada 2011 itu telah berjuang menciptakan kesadaran publik akan isu-isu Hak Asasi Manusia, keadilan sosial, dan lingkungan.

“Dewan Pengawas RMAF menyadari keyakinan ideologis dari Watchdoc untuk sebuah organisasi media independen, penggunaan jurnalisme investigatifnya yang energik, pembuatan film dokumenter dan teknologi digital dalam upayanya mengubah lanskap media Indonesia.”

Watchdoc membagikan Ramon Magsaysay Award yang diterimanya itu di akun media sosial Twitter @watchdoc_ID. Penghargaan dikutip sebagai Nobel Prize untuk skala Asia. “Terima kasih atas dukungan dari kawan-kawan untuk Watchdoc,” cuitnya.

#tpc/bin




 
Top