Oleh: Anna Ida Sunaryo Purwiyanto, Tim Riset dari Universitas Sriwijaya


JAKARTA merupakan kota yang dikepung polusi udara. Sebagian besar polusi tersebut berasal dari sektor transportasi, disusul oleh industri dan pembangkit listrik.

Material-material pengotor seperti nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida (SOx), ataupun partikel debu berukuran 2,5 mikron (PM 2,5) menjadi biang keladi pencemaran di atmosfer Jakarta.

Namun, sumber pencemaran udara di Ibu Kota bukan hanya itu. Riset kami menemukan plastik berukuran sangat kecil (mikroplastik) yang terombang-ambing di udara sekitar Ancol, kawasan pesisir Jakarta. Ini merupakan penelitian pertama di Indonesia tentang mikroplastik di atmosfer (mikroplastik atmosferik) pada ketinggian 28 meter di atas permukaan tanah.

Temuan ini semestinya menjadi informasi untuk meningkatkan kesadaran dan menjaga kelestarian lingkungan. Pasalnya, bukan hanya di perairan, udara yang kita hirup pun tak lepas dari risiko pencemaran mikroplastik.

Cara mendeteksi mikroplastik di udara

Plastik merupakan bahan sintetis yang selalu dapat terpecah ke dalam bentuk yang lebih kecil, bahkan hingga mencapai ukuran mikrometer atau yang biasa dikenal dengan mikroplastik. Ukurannya bisa lebih kecil dari rambut manusia.

Ukuran yang kecil mengakibatkan “monster mikro” ini dapat terbawa ke seluruh bagian suatu badan air dan bahkan terakumulasi pada mahluk hidup.

Sedangkan, mikroplastik atmosferik merupakan mikroplastik yang berterbangan di udara sekitar kita, bersama dengan debu atau partikel kecil lainnya. Ukurannya yang kecil mengakibatkan mikroplastik dengan mudah terhirup dan berisiko mengakibatkan infeksi saluran pernapasan dan gangguan paru-paru.

Kami meneliti keberadaan mikroplastik atmosferik dengan pengambilan sampel selama setahun. Sampel diambil menggunakan alat penampung air hujan yang steril dan berbahan kaca. Alat ini dilengkapi dengan corong dan juga diisi dengan 10 ml air yang telah disuling (aquades).

Alat penampung kemudian diletakkan pada atap gedung Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Ancol, Jakarta Utara, yang bebas dari gangguan pohon maupun gedung lainnya.

Setiap bulan, alat penampung dipasang selama 96 jam. Sampel mikroplastik yang diperoleh kemudian dihitung dan diamati menggunakan mikroskop. Kami melakukan identifikasi bahan-bahan yang terkandung pada mikroplastik menggunakan spektroskopi inframerah (FT-IR).

Hasilnya, terdapat rata-rata 15 partikel mikroplastik yang jatuh setiap hari pada areal seluas 1 meter persegi (m²). Mayoritas di antaranya (80%) berukuran sekitar 0.3-0.5 milimeter (mm), sisanya berada pada rentang 0.5-1 mm.

Kami juga mencatat jumlah mikroplastik meningkat drastis pada musim hujan (November-April). Kami menduga mikroplastik ini terbawa oleh tetesan air hujan. Semakin tinggi curah hujan, semakin banyak mikroplastik yang terjatuh.

Sebagian besar mikroplastik yang kami peroleh setiap bulannya berbentuk fiber (serat penyusun pakaian). Sebagian kecil lainnya berbentuk potongan-potongan kecil dan foam (gabus).

Adapun mayoritas (82%) mikroplastik atmosferik yang kami temukan di Ancol merupakan plastik jenis poliester (PET). Ini merupakan material produk garmen.

Sedangkan, sisanya berbahan polistirena (PS) - jamak dipakai sebagai material kemasan styrofoam. Ada juga polibutadiena (PB) atau karet sintetis, dan polietilena (PE) yang dipakai sebagai bahan kantung plastik sekali pakai.

Menilik dari dominasi bentuk, ukuran, dan jenisnya, mikroplastik yang diperoleh ini merupakan emisi dari kegiatan rumah tangga. Bentuk fiber dan polimer PET umumnya diperoleh dari aktifitas di daerah perkotaan, seperti garmen dan penatu (laundry).

Berbahayakah mikroplastik di udara Jakarta?

Jumlah temuan mikroplastik atmosferik di Ancol sebenarnya masih lebih sedikit dibandingkan kawasan metropolitan lainnya di dunia. Misalnya, di Dongguan, Cina, mikroplastik yang ditemukan mencapai 36 partikel setiap hari pada luas areal 1 m². Sedangkan di Paris, Perancis, mencapai 110 partikel.

Mikroplastik juga ditemukan di udara sekitar Hamburg, Jerman, sebanyak 275 partikel, dan London, Inggris, mencapai 771 partikel.

Studi yang dilakukan di jalan utama di kota Surabaya di ketinggian 1,2 meter pada 2019 silam juga menemukan konsentrasi mikroplastik sebesar 247 partikel.

Meski demikian, patut diingat bahwa Ancol sebagai lokasi pengambilan sampel dalam penelitian kami merupakan kawasan yang tidak dihuni banyak penduduk. Aktivitas lalu lintas juga tidak terlalu padat, dan dekat dengan Teluk Jakarta.

Selain itu, sampel yang kami dapatkan di Ancol adalah mikroplastik yang jatuh pada ketinggian 28 m. Semakin tinggi lokasi pengambilan sampel, mikroplastik yang diperoleh juga akan semakin sedikit.

Temuan ini akan berbeda apabila pengamatan kami lakukan di ketinggian yang lebih rendah dengan aktivitas penduduk yang lebih padat. Misalnya, jika pengambilan contoh mikroplastik kami lakukan di pusat kota Jakarta dengan ketinggian yang dekat dengan hidung kita (sekitar 1,5-2 meter), tidak menutup kemungkinan mikroplastik yang didapat akan lebih banyak.

Walaupun risiko ini sudah diketahui, sejauh ini belum ada pemantauan mikroplastik di udara Jakarta, ataupun baku mutu mikroplastik di udara yang dibolehkan. Karena itu, kami menyarankan kandungan mikroplastik atmosferik menjadi salah satu unsur kualitas udara yang harus diukur secara berkala oleh pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya di Jakarta.

#artikel ini telah pernah tayang di theconversation.com, may, 13,2022





 
Top