Oleh:
Yeyen Kiram (Yeka)


SELALU saja ada kisah, cerita, maupun pemandangan  mengagumkan kami alami sebagai oleh-oleh setelah melakukan perjalanan ke tempat-tempat manapun, di ranah ini.

Perjalanan kami, saya dan teman Pengurus Nasional Ikatan Arsitektur Indonesia (PN IAI) ke Pasaman Barat (Pasbar) beberapa hari terakhir ini, tanpa diduga malah "mempertemukan" saya dengan potongan-potongan dari foklor rakyat setempat. 

Foklor saya definisikan sebagai bahagian dari hikayat turun-temurun dan saling bersinggahan, dalam memupuk ingatan kolektif warga setempat. Khususnya terhadap runutan dari sejarah leluhurnya.

Sebongkah batu cukup besar, terletak di tengah kampung tepat di pertigaan simpang dari Nagari Kajai, ke kampung Timbo Abu, sebetulnya sejak lama telah menarik pandangan saya.

Secara kasat, mungkin bagi banyak orang itu hanyalah bongkahan batu biasa. Dengan warna keabuan dan beberapa bahagian permukaanya yang sudah ditumbuhi lumut. Namun ukurannya yang lumayan super untuk ukuran sebuah potongan batu alam, sekitar 5 x 6m serta tinggi 1- 1,5m, bagi saya bongkahan jumbo ini malah menimbulkan daya tarik tersendiri.

Dugaan saya kiranya tidak salah. Ada kisah menarik ternyata pernah terjadi, melatarbelakangi keberadaan dari bongkahan batu tersebut.

Pak Datuk Sardi, salah seorang tokoh masyarakat setempat, mengungkapkan, batu tersebut bukanlah sekedar hasil proses geologi alam biasa.

"Batu itu sebetulnya ada sepasang. Pasangan yang satunya lagi, ada di balik Masjid Raya di sebelah bawah sana. Yang di sini adalah yang berjenis 'wanita'-nya," papar Pak Datuk. 

Sayangnya kami tak sempat ke lokasi dimaksud (tempat batu yang berjenis pria) mengingat cuaca dan waktu. 

Sebetulnya, tak ada yang tahu persis sejak kapan batu besar itu berada di sana. Namun menurut penuturan warga setempat, berdasarkan cerita dari turunan sebelumnya, bongkahan itu dipercaya sudah ada sejak beratus tahun lalu.

Batu tersebut rupanya memiliki kisah penuh romantisme juga. Yaitu tentang sepasang kekasih yang tak diberi izin menikah oleh pihak keluarga mereka masing-masing, dikarenakan  mereka berada pada suku yang sama. Memang dalam aturan adat setempat, melakukan pernikahan dari suku kaum yang sama, merupakan pantangan yang sama sekali tak boleh dilanggar oleh siapapun. Berat sanksinya jika ada yang nekad melakukan.

Namun karena kadung saling mencintai, pasangan ini tetap  hendak menikah juga. Sehingga akibatnya, keduanya dijatuhi hukuman berupa kutukan, berubah menjadi batu besar.

Maka TAJADI (terjadi)-lah kutukan terhada sejoli sapasukuan tersebut. Mereka berdua berubah jadi BATU !

Rasanya hikayat ini patut terus diceritakan turun temurun, agar bisa menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya untuk jangan sesekali mencoba melanggar hukum atau norma-norma yang telah ada. Tidak keluar dari apa yang telah menjadi ketentuan yang disepakati bersama.

Anehnya lagi, masih berdasarkan penuturan warga setempat, sejak dua sejoli itu berubah wujud jadi dua batu besar, jika akan terjadi musibah di kampung tersebut, dua atau tiga hari sebelum kejadian, mereka atau batu besar itu seperti memberi isyarat satu sama lainnya. Seolah menjadi alarm, membantu mengingatkan warga kampung, untuk segera menyiapkan diri. 

Kedua bongkahan batu akan saling mengeluarkan suara mirip dengungan dan saling berbalasan satu sama lainya, selama beberapa kali.

Menurut pak Datuk Sardi, ketika masih berusia 7 tahun dulu, dia masih sempat menjadi saksi, mendengarkan suara dengungan dari ke dua pasang batu tersebut, yang bersuara cukup keras. Sehingga bisa didengar sampai mencapai radius 300-500 meter. 

Benar saja, beberapa hari kemudian, maka terjadilah topan badai yang cukup dahsyat di sana, sampai menghancurkan beberapa rumah dan ladang-ladang yang ada di kampung. 

Namun sejak tahun 1980-an, batu tersebut sudah tak lagi mengeluarkan suara dengungan sebagaimana biasanya. Alarm alam itu telah membisu. Entah kenapa demikian, tak ada warga setempat yang mengetahui penyebabnya. 

Karena itu pulalah agaknya, pada saat terjadi gempa bumi dahsyat akhir Februari 2022 lalu, warga setempat tidak mendengar apapun lagi sebagai "alarm" dari bongkahan batu tersebut.

Apakah karena fungsinya yang sudah beralih selama ini, sebagai media nongkrong bagi anak-anak muda saat menikmati sore yang hangat? Atau kadang disulap menjadi tempat jemuran kain?

Entahlah. 

Hanya Allah Yang Maha Tahu.

Karena Dialah Sang Pemilik dari segala alam dan seisinya...

Jum'at Mubarrak

Juni, 17-2022




 
Top