JAKARTA -- Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyampaikan Selamat Tahun Baru 2024 dan siap berkolaborasi dalam mendorong kondisi kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. 

Pada 2024, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum untuk pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPRD Kabupaten dan DPRD Kota Periode 2024-2029. Tahun ini akan menjadi akhir periode jabatan anggota legislatif dan eksekutif. 

Berdasarkan hal itu, Komnas Perempuan mengingatkan dan merekomendasikan agar di akhir masa jabatannya, DPR RI mempercepat pembahasan RUU Pelindungan PRT (RUU PPRT) dan segera menunjuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang ditugaskan serta menentukan jadwal pembahasannya. Hal ini penting sebagai legacy DPR RI periode 2019-2024 terkait perlindungan terhadap perempuan setelah sebelumnya berhasil membahas dan mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Omnibus Kesehatan. 

Rekomendasi serupa kepada Pemerintah untuk segera menuntaskan Peraturan Pelaksana UU TPKS dan UU Omnibus Kesehatan demi optimalisasi pemenuhan dan pelindungan perempuan korban kekerasan terhadap perempuan.

Tahun 2024 akan menjadi tahun ke-20 bagi advokasi RUU PPRT yang disuarakan oleh korban, jaringan pekerja rumah tangga, organisasi masyarakat sipil dan Komnas Perempuan sejak 2004. 

RUU PPRT tidak dapat dilepaskan dari pengalaman kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak PRT, akibat dari tidak diakui dan tidak dinilai setara dengan pekerjaan di sektor lainnya. 

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat sepanjang 2015 - 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan terhadap PRT dalam berbagai bentuk kekerasan, termasuk terjadinya pelanggaran kesepakatan kerja dan kondisi kerja yang tidak layak. 

“Tahun 2024 menjadi tahun krusial untuk pembahasan RUU PPRT, karena jika tidak ada satu nomor DIM pun yang dibahas dan disepakati di pembahasan Tingkat I, maka RUU PPRT akan berstatus non-carry over. Artinya kita harus memulai dari nol kembali dengan pengusulan dalam proses legislasi,” ungkap Komisioner Theresia Iswarini.  

Diketahui, saat ini RUU PPRT telah menjadi usul inisiatif DPR RI dan Pemerintah-pun telah mengirimkan DIM sebagai dasar pembahasan bersama di Tingkat I.

Selain titik kritis bagi RUU PPRT, tahun 2024 juga menjadi titik kritis penuntasan peraturan pelaksana UU TPKS. UU TPKS memandatkan pembentukan (10) sepuluh peraturan pelaksana melalui lima PP dan (5) lima Perpres yang dalam perjalanannya disederhanakan menjadi tiga (3) PP dan empat (4) Perpres tanpa mengurangi substansi yang didelegasikan. Seluruh PP dan Perpres tersebut telah terdaftar sebagai Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 dan tengah dalam percepatan pembentukannya. 

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, proses pembentukan RPP dan RPerpers telah dilakukan sejak UU TPKS disahkan. Namun sampai sekarang, dari 7 peraturan pelaksana, belum ada satupun yang ditandatangani oleh Presiden. 

“Pemerintah masih memiliki waktu 5 bulan untuk menyelesaikan seluruh peraturan pelaksana ini. Mengingat pasal 91 UU TPKS menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat dua tahun terhitung sejak diundangkan. UU TPKS diundangkan pada 9 Mei 2022, berarti sebelum 9 Mei 2024 sudah selesai. Jika tidak tersedia, maka tujuan UU TPKS untuk membangun ruang aman dan memenuhi hak korban atas penanganan, pelindungan dan pemulihan tidak akan berjalan optimal,” tambah Komisioner Siti Aminah Tardi mengingatkan peraturan pelaksana UU TPKS yang belum tersedia sampai akhir 2023.

Selain UU TPKS, pada tahun 2023 Pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan UU Omnibus Kesehatan. Penyelenggaraan upaya kesehatan dalam UU Omnibus Kesehatan meliputi 24 jenis upaya. Diantaranya yang berkaitan langsung dengan hak perempuan seperti kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia; keluarga berencana; dan kesehatan reproduksi, termasuk di dalamnya hak korban kekerasan seksual untuk pemulihan dan layanan aborsi aman. Pengutamaan kelompok rentan terdapat dalam upaya kesehatan penyandang disabilitas, kesehatan jiwa; dan gizi. Sedangkan untuk pemenuhan hak keadilan bagi korban tindak pidana termasuk perempuan terdapat dalam bentuk pelayanan kesehatan untuk kepentingan hukum. 

UU Omnibus Kesehatan memandatkan 99 isu diatur dalam peraturan pelaksana terdiri dari 2 (dua) Peraturan Presiden (Perpres), 92 Peraturan Pemerintah (PP) dan 5 (lima) Peraturan Menteri (Permen) yang harus tersedia satu tahun setelah diundangkan. 

“Banyaknya isu peraturan pelaksana yang harus disusun pemerintah dalam satu tahun menuntut kerja keras semua pihak. Kementerian Kesehatan harus terbuka dan partisipatif dalam proses pembentukan peraturan pelaksana dengan membuka seluas-luasnya saran, masukan dan pertimbangan dari pemangku kepentingan termasuk lembaga layanan korban dan lembaga nasional Hak Asasi Manusia, seperti  Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan KND untuk memastikan pemenuhan hak atas kesehatan dan perlindungan kelompok rentan,” pungkas Komisioner Retty Ratnawati. 

#rel/bin








 
Top