YOGYAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan, korupsi merupakan suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. 

Dari perspektif hukum, korupsi dipandang sebagai extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa). Hal itu adalah karena sesuai dengan arti kata korupsi itu sendiri, yaitu perusakan, korupsi merusak bahkan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial dan moral masyarakat.

“Pemberantasan budaya korupsi merupakan conditio sine quanon bagi upaya pembangunan kehidupan masyarakat yang berkeadaban, berkesejahteraan dan berkeadilan. Korupsi berkontribusi besar dalam memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial dan ekonomi bangsa kita serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat,” tutur Syamsul dalam Khutbah Idulfitri 1445H di Alun-Alun Selatan Yogyakarta, Rabu (10/4/2024).

Selain itu, Syamsul juga mengatakan bahwa masalah korupsi merupakan masalah multi dimensional dan upaya pemberantannya harus bersifat multifacet.

Agama dapat difungsikan sebagai bagian dari keseluruhan upaya pemberantasan korupsi melalui pengelolaan batin dan kalbu guna mempertinggi kepekaan nurani untuk menyadari perlunya kita menjauhi hal-hal yang meskipun untuk sementara dapat memberikan kenikmatan sekejap, namun dalam jangka panjang merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.

“Memang kita sering mendengar suatu ironi bahwa di tengah-tengah masyarakat kita yang dikatakan religius dan rajin menjalankan ibadah ternyata praktik korupsi justru berkembang subur, sehingga tampak tidak ada korelasi berbanding terbalik antara semangat religius itu dengan praktik-praktik koruptif,”tegas Syamsul.

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini juga menjelaskan bahwa semestinya semakin tinggi kesadaran beragama diharapkan semakin rendah tingkat korupsinya. Apakah ada sesuatu yang salah dalam cara kita beragama? Mungkin salah satu sebabnya adalah pengelolaan nurani dan batin kita yang tidak sebagaimana mestinya.

“Kita memang menjalankan ibadah secara rutin dan tekun, tetapi mungkin lebih bersifat mekanistik dan lebih merupakan kebiasaan yang baku atau hanya sekedar penampilan untuk pencitraan sehingga ibadah itu tidak ada ruhnya dan mata hati kita tetap terselubung dan tidak memiliki sensitivitas yang dalam,” ungkap Syamsul.

Dalam konteks ini dijelaskan Syamsul bahwa pengawasan Allah dikonkretisasi melalui pengawasan hati nurani, karena Allah adalah Zat yang Gaib, tidak hadir secara fisik bersama manusia. Dia hadir melalui keimanan di dalam hati setiap orang beriman.

“Oleh karena itu pengawasan Allah diimplementasikan melalui penajaman kepekaan hati dan penguatan sensitifitas nurani orang yang beriman kepada-Nya. Pengawasan melalui kesadaran nurani ini amat penting dan tidak dapat dipisahkan dari dua aspek pengawasan lainnya. Dalam Islam hati nurani memiliki kedudukan penting termasuk sebagai sumber tindak pengawasan,” jelas Syamsul.

Kesadaran nurani dan kepekaan batin dalam ajaran Islam dipertajam dengan diwajibkannya menjalankan berbagai macam ibadah mahdah. Para ahli Usul Fikih menegaskan maqasid hukum ibadah adalah untuk pendidikan indivdu. Termasuk ke dalam pendidikan individu itu adalah penghalusan budi dan penajaman kesadaran kalbu.

Sementara pengawasan Rasulullah SAW dapat dipandang sebagai pengawasan formal yang dilakukan secara institusional berdasarkan ketentuan hukum syariah. Rasulullah saw meninggalkan ajaran dalam wujud syariah yang merupakan kumpulan kaidah, norma dan petunjuk untuk menjalankan hidup dan berbagai aktifitas di dalamnya. Pelaksanaan ajaran beliau dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan politik, hukum, dan penyelenggaraan birokrasi memerlukan pengawasan formal agar efektif, sistemik dan terarah.

“Keberadaan pengawasan formal ini sangat diperlukan karena pengawasan itu tidak cukup hanya dengan pengawasan nurani belaka. Pengawasan melalui hati nurani perlu didukung dengan pengawasan formal, sehingga kedua bentuk pengawasan ini menjadi kesatuan yang tidak terpisah,” imbuh Syamsul.

Sementara pengawasan orang-orang beriman, artinya pengawasan oleh masyarakat banyak atau dapat disebut sebagai pengawasan sosial. Pengawasan sosial dilakukan melalui penyampaian kritik yang sehat dan membangun serta pelaporan terhadap berbagai praktik koruptif dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan kita. 

Pada sisi lain para pemangku kekuasaan diharapkan responsif terhadap kritik dan pelaporaan tersebut dan mempunyai niat baik untuk memperbaikinya sebagai bentuk tanggung jawab publiknya dan tidak merasa alergi menghadapi kritik tersebut. Di sisi masyarakat sendiri, ia merupakan elemen penting yang harus memiliki kesadaran kritis serta tidak boleh apatis terhadap hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan berdampak terhadap kehidupan mereka.

“Pengawasan masyarakat ini akan memperkuat dua unsur pengawasan lainnya yang telah dikemukakan terdahulu. Semoga pelaksanaan puasa Ramadan selama satu bulan yang telah kita jalani memberi hikmah yang besar kepada kita dan dapat menjadikan semua sebagai insan yang berkepribadian kuat dan berkarakter sensitif atas berbagai ketimpangan yang terjadi, singkatnya menjadi manusia yang bertakwa, sehingga dengan begitu bangsa kita menjadi bangsa maju dan tangguh,”jelas Syamsul.

#muhammadiyah.or.id




 
Top