Oleh: Goenawan Mohamad (GM) 

ADA mithos yang mengendap dalam ingatan kolektif kita:  jika mahasiswa turun ke jalan, berarti keadaan sosial-politik gawat, dan mahasiswa merupakan suara moral untuk mengingatkan, kalaupun bukan untuk memperbaiki.

Tentu saja itu hanya mithos.  Gawatnya keadaan sosial politik tak selamanya merupakan hasil kesimpulan yang tak sepihak. Masyarakat, khususnya masyarakat politik, tidak tunggal — dan tak koheren selama-lamanya dalam menghasratkan perubahan.  Politik, seperti kata Badiou, itu hal yang langka. 

Juga “mahasiswa” adalah sebuah identitas yang dibentuk segmen dominan dalam kalangan itu. 

Mithos itu jadi kuat di tahun 1966, ketika pelbagai gerakan mahasiswa berhimpun (disuarakan oleh KAMI) menentang demokrasi terpimpin Bung Karno dan PKI.

Mithos dihidupkan kembali di masa Suharto, dengan pelbagai aksi protes menentang rezim semi-militer dan otokratis waktu itu.  

Mithos jadi kuat karena baik Sukarno maupun Suharto berhasil didesak turun tahta.

Tentu saja mithos mengandung fiksi. Bukannya fiksi itu tak penting dalam membuat sejarah.

Tapi mithos tak menjamin keadilan dan kebenaran. Bung Karno dan Suharto turun bukan semata-mata karena desakan mahasiswa, melainkan karena tak lagi bisa  menyatukan dukungan elite politik. 

Juga tak seluruhnya bisa disimpulkan bahwa  aksi mahasiswa bersifat moral dan dengan alasan yang benar. 

Aksi menentang perpanjangan masa jabatan presiden hari-hari ini didorong keprihatinan yang benar. Tapi oposisi ini kali ini kehilangan nilainya ketika yang jadi sasaran adalah Jokowi.

Sebab sekali lagi Presiden Jokowi sendiri secara publik menyatakan menolak ide itu. Ia tak mau menunda pemilu dan anggap perpanjangan masa jabatan presiden melanggar konsitusi.

Saya tak tahu apakah aksi masih akan digelar dengan alasan semula.  Jika masih, ia jadi tak masuk akal, tak adil dan tak benar.

Meskipun tak perlu dilarang.

#halaman (FB) resmi Goenawan Mohamad




 
Top