BATAM, KEPRI -- Belakangan sudah tidak banyak memang, kalangan legislatif maupun aktivis sosial kemasyarakatan menyoroti fenomena perpisahan anak sekolah dalam bentuk wisuda terutama Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di tanah air. 

Namun demikian, nalar kritis dan kepekaan terhadap kondisi riil sosial ekonomi mayoritas rakyat Indonesia kekinian masih dimiliki segelintir wakil rakyat.

Terkini, sorotan terkait fenomena yang beberapa tahun lalu juga sempat viral tersebut tersebut datang dari Komisi IV DPRD Kota Batam, Udin P Sihaloho.

“Saya menyoroti acara wisuda-wisudaan anak sekolah sekarang. Kalau anak TK lulus, mau masuk SD buat wisuda mungkin itu satu hal yang lumrah sepanjang tidak memungut biaya besar. Itu satu hal kebanggaan anak-anak. Mereka lulus dari TK ke SD,” ujar Udin, Rabu (21/6/2023)

Namun, ia menilai untuk tingkatan SD, SMP dan SMA sebaiknya dikembalikan ke budaya lama saja. Cukup acara perpisahan, tak perlu ada acara wisuda. Karena, menurutnya anggaran yang dikeluarkan akan memberatkan para orang tua. 

“Cukuplah acara perpisahan saja. Kalau, sempat dibuat wisuda SD, masuk SMP, orangtua itu harus memikirkan beli seragam baru, tas baru dan semuanya. Belum lagi beban adiknya ada yang naik kelas lainnya,” bebernya.

Hal yang sama terjadi dari SMP menuju ke jenjang SMA. Seharusnya, pihak sekolah lebih fokus ke kualitas pendidikan.

“Untuk SMA mungkin bukan kewenangan saya untuk menyampaikannya. Tapi selaku DPRD Kota Batam yang membidangi pendidikan, saya lebih fokus kepada kualitas anak SMA dan SMK. Banyak anak mereka juga tak mengerti matematika dasar. Perkalian saja tak tahu,” jelasnya.

Seharusnya, para peserta didik dan pihak sekolah harus memahami berapa ketatnya persaingan dunia pekerjaan saat ini. Sehingga banyak perusahaan kota Batam, merekrut tenaga kerja dari luar Batam.

“Ini bukan hoaks. Ada beberapa saya tanya SMA dan SMK di sini, mereka tak mengerti perkalian,” katanya.

Ia menambahkan apabila pihak sekolah ingin menyelenggarakan wisuda, diharapkan jangan sampai membebani orangtua murid. Sebab, tidak semua orangtua murid itu berduit, menyandang status pejabat pemerintah atau pengusaha sukses yang notabene sumber duitnya banyak disana sini.

“Proses wisuda-wisudaan ini disudahi saja. Karena cukup memberatkan orangtua murid dan banyak orang tua murid mengadu kepada saya,” katanya.

Salah satu orangtua murid Serli, mengaku, di sekolah keberatan adanya acara wisuda saat anaknya lulus dari SD. Hal ini dikarenakan beratnya biaya yang dikeluarkan.

“Mereka harus beli toganya sendiri. Padahal toga itu dipake cuma sekali saja. Abis itu disimpan di lemari. Padahal kita harus mempersiapkan seragam SMP-nya,” katanya.

Seharusnya kata dia, pihak sekolah menyediakan penyewaan toga kepada anak-anak. Sehingga orangtua tak harus membeli toga tersebut dengan harga mahal.

“Sebenarnya kita dikasih pilihan mau beli atau tidak. Kan gak logika, teman-teman anak kita wisuda pakai toga, masak anak kita enggak. Di bully dong dia, insecure dong dia,” katanya.

Sementara, waktu TK anaknya sudah pula merasakan pakai toga. Seharusnya tak perlu lagi pakai-pakai toga.

“Menurut saya pakai toga kan bisa lulus kuliah nanti. Tapi ada pula yang bilang siapa tahu ada anak yang tak bisa menikmati kuliah, jadi bisa merasakan pakai toga,” pungkas ibu tiga anak. 

#pmb/bin






 
Top