JAKARTA -- Korupsi telah menjadi masalah serius di Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik Indonesia telah menjadi sorotan utama dalam pemberitaan nasional.

Indonesia adalah negara yang demokratis, dengan sistem multi-partai yang memungkinkan berbagai partai politik bersaing dalam pemilihan umum (pemilu).

Namun, sistem politik Indonesia juga telah menjadi medan pertempuran yang subur untuk korupsi. 

Korupsi dalam politik Indonesia seringkali melibatkan praktik-praktik seperti suap, penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan dana publik.

Salah satu faktor penyebab kasus-kasus korupsi adalah sistem politik yang fragmentasi di Indonesia.

Dengan banyaknya partai politik yang bersaing dalam pemilu, terdapat tekanan besar untuk mendapatkan dana kampanye dan mempertahankan kekuasaan.

Hal ini dapat mendorong anggota partai politik untuk mencari sumber dana yang tidak sah, seperti suap atau penyalahgunaan kekuasaan.

Kurangnya pengawasan yang efektif juga merupakan masalah serius dalam mencegah kasus korupsi. Lembaga-lembaga pengawasan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering menghadapi hambatan dalam melakukan tugas mereka.

Gangguan politik, tekanan dari pihak yang kuat, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dapat mengurangi efektivitas lembaga-lembaga ini dalam mencegah dan menindak kasus korupsi.

Selain itu, nepotisme dan patronase telah menjadi ciri khas dalam politik Indonesia. Kasus-kasus korupsi seringkali melibatkan pejabat yang menggunakan kekuasaan mereka untuk memperlakukan keluarga atau teman-teman mereka dengan istimewa dalam hal perizinan, kontrak, atau pekerjaan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana praktik korupsi seakan menjadi umum dan diterima.

Parpol Paling Banyak Terlibat Korupsi

Menurut data yang dikompilasi oleh Bijak Memilih, sebuah lembaga independen yang diinisiasikan oleh Think Policy dan What Is Up Indonesia (WIUI), sejumlah partai tradisional banyak terjerat kasus korupsi, setidaknya selama 2011-2023.

Dalam periode tersebut, kader partai pemenang dua edisi pemilu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tercatat paling banyak terlibat kasus korupsi.

Berdasarkan data Bijak Memilih, selama 2011-2023, PDIP tersangkut dalam 66 kasus suap dan gratifikasi dengan total nilai sekitar Rp311 miliar.

Dalam kamus Bijak Memilih, suap berarti memberi atau menerima hadiah (uang, barang, jasa) atau janji, karena kewenangan/kekuasaan jabatan penerima atau dengan maksud agar yang menerima berbuat/tidak berbuat sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban, atau sebagai imbalan.

Sedangkan, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas (bisa uang, barang, diskon, fasilitas, dll.) tanpa janji. Gratifikasi bisa dianggap suap bagi penyelenggara negara jika berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya (dan tidak dilaporkan ke KPK per pasal 12C UU Tipikor).

Kasus suap dan gratifikasi kader PDIP terbesar dilakukan oleh Sunjaya Purwadisastra (eks Bupati Cirebon) yang menerima Rp 55 miliar dari iuran SKPD, rotasi, mutasi, rekrutmen honorer, fee proyek dan Rp 11 miliar dari suap perizinan PLTU 2 Cirebon serta rencana pengembangan kawasan industri Kings Property.

PDIP juga terlibat dalam 2 kasus yang menyebabkan Kerugian Keuangan Negara dengan nilai total Rp39,8 miliar.

Maksud dari istilah Kerugian Keuangan Negara adalah jumlah berkurangnya atau hilangnya kekayaan dan hak Negara (uang, surat berharga, barang) akibat tindakan pidana korupsi yang dilakukan.

Mengutip Bijak Memilih, kasus Kerugian Keuangan Negara terbesar yang dilakukan kader PDIP adalah korupsi tukar guling lahan tempat pembuangan akhir (TPA) Bokongsemar, Kota Tegal tahun 2012 oleh Ikmal Jaya (Wali Kota Tegal) dengan total kerugian negara Rp35,1 miliar.

Selain PDIP, Partai Golkar juga terlibat dalam banyak kasus suap dan gratifikasi, yakni mencapai 64 kasus dengan total nilai Rp280 miliar.

Kasus suap dan gratifikasi terbesar Golkar adalah proyek pengadaan laboratorium dan pengadaan Alquran di Kementerian Agama oleh Zulkarnaen Djabar (DPR RI Jawa Barat Komisi VIII) dengan total suap dan gratifikasi Rp14,0 miliar.

Golkar juga terjerat 9 kasus Kerugian Keuangan Negara dengan total kerugian negara Rp3,27 triliun.

Kasus Kerugian Keuangan Negara terbesar Golkar terkait dengan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP oleh Markus Nari dan Setya Novanto (eks DPR RI Komisi VIII & Ketua DPR RI) dengan total kerugian negara Rp2,30 triliun.

Di bawah PDIP dan Golkar ada Partai Demokrat dengan total kasus suap dan gratifikasi hingga 48 kasus senilai Rp119 miliar.

Demokrat juga tersangkut 9 kasus Kerugian Keuangan Negara dengan total kerugian negara Rp1,12 triliun.

Kasus korupsi proyek pusat olahraga Hambalang Bogor Hambalang menjadi kasus Kerugian Keuangan Negara terbesar yang dilakukan kader Demokrat dengan nilai kerugian negara hingga Rp464 miliar.

Indeks Persepsi Korupsi RI

Periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) tingkat indeks persepsi korupsi Indonesia (corruption perceptions index/CPI) mengalami perbaikan. Melansir Transparency International, skor awal CPI Indonesia 34 poin (2014) meningkat menjadi 40 poin (2019).

Namun, periode kedua Jokowi skor CPI Indonesia kembali mengalami penurunan 6 basis poin, kembali menjadi 34 poin (2022), sehingga menempatkan Indonesia di posisi ke-112 dari 180 negara.

Skor CPI rata-rata dari 180 negara yaitu 43 poin pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa indeks korupsi Indonesia berada di bawah rata-rata secara kebersihan dan bebas korupsi negara di dunia.

Penilaian CPI skor menggunakan skala 0-100. Nilai 0 menunjukkan tingginya korupsi dan nilai 100 menunjukkan bersih bebas korupsi. Indeks yang dikeluarkan setiap tahun ini mengumpulkan persepsi korupsi menggunakan sampel dari publik di setiap negara.

Menanggapi turunnya skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) di Indonesia, Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan menteri dan kepala lembaga membahas penanganan korupsi di Istana Negara, Jakarta, 6 Februari 2023.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengaku kaget dengan penurunan CPI menjadi ke 34 dari 38. Sehingga pihaknya melakukan diskusi untuk melakukan perbaikan.

"Terus kami berdiskusi dan tetap menghargai, serta mengapresiasi terhadap apa yang dilakukan oleh TII (Transparency International Indonesia). Maka kita menyampaikan tentu kita akan melakukan perbaikan-perbaikan," kata Mahfud saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, pada 6 Februari 2023.

Sehingga nantinya, lanjut Mahfud, Presiden akan mengeluarkan arahan khusus dalam waktu dekat sebagai kebijakan negara terkait penanganan korupsi.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mengatakan pemerintah menghargai laporan dari TII. Namun menurutnya ada beberapa lembaga internasional lainnya yang mendapati perbaikan dalam hal penanganan korupsi.

"Memang yang kami temukan itu ada 13 lembaga sigi internasional, yang dipakai untuk Indonesia itu delapan. Tahun ini tidak dipakai Indonesia padahal perbaikan kita menuju ke situ yaitu lembaga sigi yang terkenal, World Economic Forum. Di situ kita tinggi tapi tidak dipakai untuk menghitung kali ini," kata Mahfud.

"Jadi tidak apa-apa, kami hanya ingin menyatakan bahwa itu semua bukan fakta tapi persepsi dan baru terbatas pada hal-hal tertentu," tambahnya.

Soal Korupsi di Indonesia

LM Syarif (2019) dalam paper berjudul Addressing the Root of Political Corruption in Indonesia yang terbit di Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS menyarikan dari sebagian penelitian KPK dan LIPI mengenai "korupsi sektor politik" di Indonesia.

Penelitian tersebut menyimpulkan, salah satu akar utama korupsi di Indonesia adalah sistem politik yang korup dan partai politik yang sangat korup.

Peneliti juga menemukan, mayoritas partai politik besar di Indonesia dikelola seperti perusahaan keluarga dan dikendalikan oleh segelintir oligarki.

Oleh karena itu, kata LM Syarif, kepengurusan partai politik di Indonesia tidak transparan dan akuntabel serta tidak mengikuti prinsip demokrasi dan anti korupsi.

Penelitian itu menyimpulkan, semua partai politik di Indonesia mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut:

(a) Tidak akuntabel dan transparan dalam manajemen keuangan.

(b) Proses kaderisasi di partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya sistem, sehingga banyak anggota partai politik dengan mudahnya melompat dari satu partai politik ke yang lain.

(c) Penerapan dan penegakan kode etik di partai politik sangat sedikit atau tidak sama sekali. Akibatnya, terjadi pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan etika dianggap normal.

#cnbc/bin






 
Top