PEKANBARU -- Upaya mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Prof Dr Ahmad Mujahidin bebas dari jeratan kasus korupsi jaringan internet pupus sudah. Pengakuan bahwa ia telah menyuap Jaksa Penuntut Umum (JPU) ratusan juta tidak terbukti. 

Alhasil, Ahmad Mujahidin dinyatakan terbukti bersalah dan divonis majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN)  Pekanbaru 2 tahun 10 bulan penjara. Guru besar itu juga diwajibkan membayar denda Rp200 juta subsidair 4 bulan kurungan penjara. 

Belum diketahui apakah Ahmad Mujahidin bakal mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Riau agar bebas. Ahmad masih menyatakan pikir-pikir usai mendengar vonis beberapa hari lalu itu. 

Di sisi lain terkait tudingan telah menyuap JPU, Kejari Pekanbaru masih belum menempuh jalur pidana pencemaran nama baik. JPU masih menunggu petunjuk dari pimpinan. 

Terlepas dari ini, vonis bersalah ini merupakan sejarah baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab Ahmad Mujahidin dinilai terbukti melakukan kolusi dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintahan. 

Hakim menyatakan dia tidak terbukti melanggar pasal di Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi melainkan Pasal 21 pada UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Menurut Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Pekanbaru Agung Irawan pasal itu merupakan dakwaan alternatif ketiga JPU terhadap Ahmad Mujahidin. Agung menyebut terbukti melakukan kolusi dalam perkara korupsi merupakan yang pertama di Indonesia. 

Vonis ini bisa menjadi yurisprudensi dalam penegakan hukum di Indonesia. Apalagi nantinya jika banding hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, Ahmad tetap dinyatakan bersalah dalam dakwaan tersebut. 

"Ya bisa (sebagai yurisprudensi)," Agung membenarkan.

Anggaran Besar

Agung menjelaskan, awalnya jaksa juga ingin mengaudit kerugian negara dalam kasus ini. Agung telah berkoordinasi dengan beberapa lembaga auditor tapi akhirnya tidak jadi dihitung karena memakan waktu cukup lama. 

Agung akhirnya meminta jajarannya di Pidana Khusus untuk menyertakan pasal pada UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

"Kami yakin dan akhirnya UU ini yang terbukti," jelas Agung. 

Dalam kasus ini, Ahmad bukan satu-satunya pesakitan. Masih ada nama Benny Sukma Negara sebagai bawahan Ahmad sewaktu menjabat sebagai rektor. 

Berkas Benny sendiri masih terus dilengkapi oleh jaksa penyidik. Tak lama lagi, Agung menyebut berkas itu bisa lengkap untuk dimajukan ke pengadilan. 

Pengadaan jaringan internet di UIN untuk mendukung pembelajaran daring karena pandemi Covid-19. Anggarannya dari APBN tahun 2020 sebesar Rp2,9 miliar dan APBN tahun 2021 sebesar Rp734 juta. 

Pengadaan jaringan internet di UIN Suska Riau ini ditayangkan ke dalam aplikasi SIRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) LKPP dengan metode pemilihan e-purchasing.

Dalam pelaksanaannya, terdakwa yang merupakan kuasa pengguna anggaran (KPA) seolah-olah menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan layanan internet. 

Hal itu dilakukan Ahmad selaku KPA UIN Suska Riau berdasarkan Surat Keputusan RNomor 001/R/2020 tentang Penetapan Penanggungjawab Pengelola Keuangan di Lingkungan UIN Suska Riau Tahun Anggaran 2020. Padahal dalam proyek ini sudah ada PPK. 

Terdakwa mengambil semua tanggung jawab PPK. Terdakwa yang menandatangani Kontrak Berlangganan (Subscription Contract) Nomor : K.TEL.13/HK.820/WTL-1H10000/2020 tanggal 02 Januari 2020.

Di kontrak itu, mencantumkan kontak person atas nama Benny Sukma Negara dengan maksud agar PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. WITEL RIDAR unikasi Indonesia, Tbk. berkomunikasi dengan Benny Sukma Negara bukan dengan PPK.

Setelah 12 bulan, tidak semua layanan dalam kontrak dilaksanakan atau terealisasi setiap bulannya. Namun semuanya tetap dibayar seolah-olah berjalan semuanya atas peran terdakwa.

#l6c/bin






 
Top