JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, memaparkan, dari hasil kajian pihaknya terungkap bahwa ada tiga titik rawan korupsi dana penyelenggaraan haji.

Ketiga titik itu adalah akomodasi, konsumsi dan pengawasan.

Hasil kajian Direktorat Monitoring KPK bertajuk “Pengelolaan Keuangan Haji” tahun 2019 itu disampaikan Firli dalam audiensi dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (5/1/2023).

“Faktanya menunjukkan ada perbedaan harga mulai dari biaya inap, itu cukup tinggi, termasuk biaya makan dan biaya pengawasan haji.

Timbul kerugian negara sebesar Rp 160 miliar waktu itu,” kata Firli Bahuri dalam keterangannya, Jumat (6/1/2023).

Firli mengatakan, kajian yang dilakukan KPK juga menemukan permasalahan dalam penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang tidak sesuai ketentuan dan berpotensi menggerus dana pokok setoran jemaah.

Ia mencontohkan pada 2022, BPIH untuk satu orang jamaah sebesar Rp 39.000.000 dari biaya seharusnya yang mencapai Rp 98.000.000.

Pada pelaksanaannya, dana tersebut dibedakan menjadi dua yaitu direct cost (biaya langsung) dan indirect cost (biaya tidak langsung).

Seiring berjalannya waktu, anggaran biaya tidak langsung dipergunakan untuk mensubsidi biaya langsung guna menutup selisih biaya penerbangan dan akomodasi selama di Mekkah dan Madinah.

Dengan kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan BPIH, kata Firli, maka subsidi biaya tidak langsung terhadap biaya langsung semakin meningkat setiap tahun.

Bahkan menurut dia mencapai lebih dari 50 persen.

Menurut Firli pemerintah harus segera mencari solusi agar persoalan subsidi terhadap biaya langsung yang terus membengkak supaya tidak menjadi bom waktu.

Firli mengatakan, jika subsidi terhadap biaya langsung melalui biaya tak langsung yang berasal dari dana manfaat terus terjadi, maka dana itu akan cepat habis sehingga berpotensi merugikan jamaah yang masih dalam menunggu giliran keberangkatan.

Jika subsidi itu terus berlangsung dan nilainya membengkak, maka diperkirakan dana manfaat itu akan habis pada sekitar 2026 sampai 2027.

Maka dari itu, Firli mengingatkan BPKH untuk melakukan perbaikan sistem pembiayaan haji.

Firli mendesak supaya dilakukan efisiensi dengan memangkas hal-hal yang tidak diperlukan agar pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji tidak membengkak.

Pos-pos anggaran yang dihilangkan terkait efisiensi itu, kata Firli, dapat diganti atau memanfaatkan sumber daya yang selama ini tersedia.

“Kalau ada masalah di kemudian hari, peluang, atau rentan korupsi harus diperbaiki sistemnya,” ujar Firli.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengucapkan terima kasih kepada KPK karena melalui kajian ini pihaknya dapat mengetahui pos-pos yang harus diperbaiki.

BPKH, kata Fadlul, berkomitmen untuk menjadi lembaga antikorupsi dimana saat ini BPKH telah menggunakan whistleblowing system (WBS).

Terkait masalah disparitas harga, Fadlul menjelaskan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR RI.

Pemerintah Saudi, menurut Fadlul, pada 2030 memiliki visi meningkatkan kuota jumlah jamaah haji dunia.

Indonesia sebagai negara muslim terbesar diharapkan oleh Kerajaan Saudi untuk mengambil kuota lebih banyak lagi.

Jika terealisasi maka hal ini dapat memangkas masa tunggu jamaah.

“Pemerintah Saudi ingin meningkatkan kuota jamaah dari dua juta menjadi lima juta.

Tentunya ini menjadi tantangan kita untuk meningkatkan kualitas layanan haji dan tidak akan meningkat jika dananya tidak cukup,” kata Fadlul.

Terkait perbedaan tarif, Fadlul menyatakan BPKH dan Kemenag sedang membuat sebuah perseroan terbatas (PT) di Arab Saudi untuk berinvestasi seluruh kebutuhan jamaah haji asal Indonesia.

Nantinya, kata Fadlul, PT ini akan masuk ke ruang-ruang seperti pengelolaan penginapan atau logistik makanan yang dibolehkan oleh Saudi sehingga dapat menekan biaya pelaksanaan haji jamaah.

“Dengan dukungan KPK, BPKH akan terus lanjut (bekerja) secara produktif meningkatkan kualitas layanan haji,” katanya. 

#dtc/bin





 
Top