oleh ReO Fiksiwan | Sastrawan


“Masyarakat jaringan terstruktur di sekitar jaringan, bukan aktor individu, dan bekerja melalui aliran informasi yang konstan melalui teknologi.” — Manuel Castells (83), The Information Age: Economy, Society and Culture (1996).


BEREDAR kabar di medsos, RAL FM alias Radio Al Khairat, bakal tutup siar pada Januari 2026, sebuah kabar yang menorehkan keprihatinan mendalam bagi sejarah penyiaran komunitas di Manado.

Radio Al Akhirat (RAL), yang pernah menjadi satu-satunya siaran swasta berbasis komunitas muslim di kota multikultur: Manado, kini harus mengakhiri perjalanan panjangnya.

Sebelum sampai pada titik ini, RAL pernah berada di bawah manajemen Smart FM milik Fahri Muhammad, seorang ahli periklanan yang kemudian melepas, khususnya jejaring Smart FM ke jaringan media Kompas Group.

Namun, berbeda dengan radio swasta lain seperti Yapim (yang kemudian berubah menjadi Memora), Prambors, atau Sound of Love maupun Karya Dharma di Jalan Toar — memiliki legasi personal dengan penyiar legendaris Erik Darma (kalimat siarnya yang populer: Balas ya balas… kapan tarek meja panjang sebagai bentuk siaran persuk) — RAL FM memiliki posisi unik sebagai corong budaya dan identitas umat Islam lokal, sebuah legasi yang sulit digantikan.

Penutupan RAL FM tidak bisa dilepaskan dari perubahan besar dalam lanskap budaya informasi audio.

Undang-undang penyiaran yang menekankan siaran komersial telah menyingkirkan ruang bagi siaran komunitas yang berbasis nilai dan identitas lokal.

RAL FM, yang selama ini bertahan sebagai simbol keberadaan muslim di Manado, akhirnya harus tunduk pada hukum pasar.

Kehilangan ini bukan sekadar hilangnya sebuah frekuensi, melainkan punahnya sebuah warisan kultur broadcast lokal yang pernah memberi ruang bagi suara komunitas di tengah dominasi siaran komersial.

Fenomena ini dapat dibaca sebagai konsekuensi dari apa yang disebut Alvin Toffler dalam Gelombang Ketiga (Third Wave): badai informasi digital yang menggeser teknologi lama.

Kehadiran media sosial, platform digital dan kecerdasan buatan telah mengubah cara publik mengakses informasi, membuat radio komunitas semakin tersisih.

Yuval Noah Harari dalam Nexus (2025) menegaskan bahwa transformasi digital bukan hanya soal teknologi, melainkan juga soal hilangnya ruang-ruang tradisional yang dulu menjadi pusat interaksi sosial.

Sementara itu, Manuel Castells, pakar komunikasi, telah lama menulis tentang bagaimana jaringan informasi global mengikis batas-batas lokal, termasuk dalam dunia penyiaran.

Castells juga menulis bahwa transformasi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi sejak 1970-an menciptakan “a new technological paradigm organized around information technologies”.

Paradigma ini membuat media tradisional yang berakar pada komunitas lokal semakin sulit bertahan, karena logika jaringan global menuntut efisiensi, skala besar, dan integrasi digital.

Dengan mengutip Castells, hilangnya siaran lokal komunitas seperti RAL FM di Manado dapat dipahami sebagai bagian dari benturan antara kultur lokal dengan gelombang informasi global.

Tantangan abad informasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal bagaimana identitas komunitas bisa tetap hidup di tengah arus jaringan yang mendominasi.

Dengan tutupnya RAL FM, Manado kehilangan salah satu simbol penting dari sejarah penyiaran swasta berbasis komunitas.

Jika radio lain masih bisa bertahan dengan format hiburan atau komersial, RAL FM adalah satu-satunya yang membawa identitas khas umat Islam lokal.

Penutupan ini bukan sekadar akhir dari sebuah stasiun radio, melainkan tanda punahnya sebuah legasi kultur yang pernah memberi warna berbeda dalam sejarah broadcast di kota ini.

Sebuah kehilangan yang layak ditangisi, karena ia menandai berakhirnya era ketika radio bukan hanya media, melainkan juga rumah bagi komunitas.

Namun, respon komunitas muslim lokal Manado terhadap penutupan RAL FM dapat dibaca melalui lensa pemikiran, seorang fiksiwan, Reiner Emyot Ointoe(67), kelahiran Gorontalo, dalam dua karyanya: Musyawarah Bisu: Politik dan Agama Islam Lokal (2009) dan Ucinistik dan Ledakan Kebenaran (2018).

Dalam Musyawarah Bisu, Ointoe menyoroti bagaimana umat Islam di Manado sering berada dalam posisi politik yang “diam namun penuh makna.”

Diam di sini bukan berarti pasif, melainkan bentuk strategi kultural untuk menjaga harmoni di tengah dominasi mayoritas.

RAL FM selama ini menjadi medium yang memecah kebisuan itu, memberi ruang bagi ekspresi identitas, dakwah, dan diskursus sosial yang tidak mudah tersalurkan di media arus utama.

Dengan demikian, penutupan RAL FM dapat dipandang sebagai ancaman kembalinya komunitas muslim lokal ke dalam kondisi “musyawarah bisu,” di mana suara mereka kehilangan kanal utama untuk bergaung di ruang publik.

Sementara dalam Ucinistik dan Ledakan Kebenaran, Ointoe menekankan pentingnya ruang-ruang kecil (ucinistik) yang melahirkan percikan wacana besar.

RAL FM selama ini berfungsi sebagai salah satu ucinistik penting: sebuah ruang alternatif yang memungkinkan umat Islam lokal mengartikulasikan kebenaran mereka di tengah dominasi narasi komersial dan sekuler.

Kehilangan RAL FM berarti hilangnya salah satu “ledakan kebenaran” yang selama ini menopang identitas dan solidaritas umat Islam lokal.

Ditilik dari respon komunitas muslim Manado terhadap penutupan ini kemungkinan besar akan bercampur antara nostalgia dan kegelisahan.

Nostalgia karena RAL FM pernah menjadi rumah suara mereka, dan kegelisahan karena hilangnya ruang simbolik yang selama ini menjadi bagian dari politik budaya mereka.

Namun, sebagaimana ditunjukkan Ointoe, komunitas muslim lokal memiliki tradisi mencari kanal baru untuk melahirkan percikan wacana alternatif.

Di era digital, kanal itu bisa berupa media sosial, podcast, atau platform berbasis AI yang lebih mudah diakses.

Pertanyaannya, apakah kanal-kanal baru ini mampu menggantikan fungsi RAL FM sebagai ruang komunitas yang intim dan berakar pada kultur lokal, atau justru akan melebur dalam arus informasi global yang serba cepat dan impersonal.

Dengan demikian, penutupan RAL FM bukan hanya soal hilangnya sebuah stasiun radio, melainkan juga ujian bagi komunitas muslim Manado: apakah mereka akan kembali ke “musyawarah bisu,” atau justru melahirkan “ledakan kebenaran” baru di era digital. (*)

#coverlagu: Lagu Keagungan Tuhan dinyanyikan oleh Titiek Sandhora (71) dan dirilis sekitar tahun 1980.

Lagu Keagungan Tuhan merupakan salah satu karya populer yang melekat dengan nama Titiek Sandhora, seorang penyanyi dan aktris Indonesia yang aktif sejak akhir 1960-an.

Ia memulai karier musiknya di usia 15 tahun dengan lagu Si Boncel, dan kemudian dikenal luas lewat duet bersama suaminya, Muchsin Alatas (82).

Lagu ini pun menjadi hits di radio komunitas Yapim sebelum berubah jadi Memora oleh mendiang Lukman Wakid, salah satu perintis radio swasta lokal.





 
Top