Rosadi Jamani | Penulis
Ketua Satupena Kalbar
KITA update soal bencana tanda tangan di Pulau Sumatera. Angka korban jiwa mulai mendekati angka seribu. Sementara istana tetap bersikukuh, no status darurat nasional. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Pada 3 Desember 2025, ketika manusia masih sibuk menyeduh kopi dan menyiksa jempol di Tiktok, Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat tampil dalam drama kolosal yang memalukan. Tiga provinsi dihantam bukan bencana alam, tapi bencana tanda tangan. Hujan deras memang turun, tapi ia hanya aktor pendukung. Aktor utamanya? Pena pejabat yang sejak lama menggoreskan izin tambang, pelepasan hutan, dan proyek-proyek absurd yang akhirnya menagih nyawa. Itulah mengapa korban tewas hari ini menyentuh 753 jiwa, naik dari 744 kemarin. Angka itu akan terus bertambah meningat masih banyak hilang.
Di Sumatera Utara, 301 orang meninggal, 163 hilang, 1.200 luka-luka, dan 538.000 mengungsi di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sibolga, dan Tapanuli Utara, daerah yang hutan lindungnya lebih banyak hilang dari harapan pemilih pasca-pemilu. Aceh lebih tragis, 218 meninggal, 227 hilang, 800 luka-luka, dan 1,5 juta terdampak. Sumatera Barat pun tak kalah dramatis, 225 meninggal, 161 hilang, 600 luka-luka, dan 106.000 mengungsi, terutama saat Gunung Singgalang meluncurkan longsor seperti pesan pedas kepada manusia, “Terus tebang hutan, aku hantam balik.”
Totalnya mencengangkan, 650 hilang, 2.600 luka-luka, 3,3 juta terdampak, 576.000–1,1 juta pengungsi, 3.600 rumah rusak berat, 39 jembatan ambruk, sekolah dan masjid roboh, dan 27.000 hektare sawah rusak, daftar panjang yang biasanya muncul setelah perang, bukan setelah hujan.
Inilah bagian paling jujur dari tragedi ini, semua ini bukan “murka alam”, tapi hasil legalitas ekstrem. Setiap izin tambang yang diteken, setiap hutan yang berubah warna di peta, setiap kawasan lindung yang dijadikan proyek food estate gagal, semuanya adalah undangan resmi bagi banjir dan longsor. Jadi jangan salahkan langit. Jangan lempar ke semesta. Ini banjir kiriman stempel, longsor dari meja rapat, malapetaka hasil persetujuan rapat koordinasi. Inilah bencana tanda tangan, bencana yang punya pelaku, alamat kantor, dan nomor dokumen.
Aceh pun kini mengangkat “bendera putih administratif”. Aceh Selatan, lewat surat 360/1975/2025, mengakui 11 kecamatan sudah KO sejak 24 November, 2.000 mengungsi, jalan putus. Aceh Tengah menyusul, 12.000 hektare sawah rusak, rugi 500 ton panen, 11 meninggal, 13 hilang, akses ke Takengon harus helikopter. Aceh Timur dan gabungan Aceh Utara mencatat 212.000 pengungsi, sementara Pidie Jaya punya 17 meninggal, 18 hilang, 24.000 mengungsi. Nagan Raya kemarin ikut angkat bendera, minta makanan via udara.
Gubernur Muzakir Manaf sudah menetapkan darurat provinsi, Presiden Prabowo turun ke Aceh Tenggara, janji anggaran, janji solusi, tapi hujan sisa Cyclone Senyar tetap menambah longsor tanpa membaca pidato. Netizen memanggil @BNPB_Indonesia dan @Prabowo, lalu menutup harapan dengan hashtag #PrayForAceh, seolah hashtag adalah alat berat.
Sementara Sumatera menangis, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni justru mengumumkan rencana membuka 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi. Aktivis menyebutnya “solusi palsu”, DPR khawatir hutan lindung dan tanah adat hanyut dalam dalih swasembada. Ini mirip Sisyphus: manusia menebang hutan, alam membalas, manusia tambah nebang untuk “solusi”.
Setelah semua angka ini, 753 meninggal, jutaan terdampak, empat kabupaten angkat bendera, 20 juta hektare hutan siap dibuka, apa yang tersisa? Hanya satu kebenaran pahit, bencana ini bukan alam yang marah, tapi manusia yang terlalu rajin menandatangani kehancurannya sendiri.
Hujan turun tanah retak
Pohon hilang tinggal luka
Izin diteken tanpa sesak
Rakyat tenggelam dalam duka
Jembatan runtuh kali naik
Sawah hanyut air murka
Stempel pejabat makin ajaib
Nyawa rakyat terus sirna (*)
#camanewak


