Oleh: Ririe Aiko | Penulis


PUISI esai ini terinspirasi dari tragedi longsor di Sumatera, ketika seorang Bapak di Sibolga menjadi sorotan publik setelah videonya viral: ia menangis pilu sambil menyusuri timbunan longsor mencari putri kecilnya yang hilang hingga hari ketiga pascabencana. (1)


—000—


Di antara puing yang basah oleh hujan,

seorang Bapak melangkah terpatah,

“Menyusuri tanah yang runtuh, (2)

menegakkan tubuh yang gemetar.

Terjerembab oleh duka yang semakin membengkak.”


Langkahnya goyah,

namun tekadnya tak kenal kata menyerah,

menyibak bongkahan tanah,

mencari sesuatu yang tak sanggup ia namai dengan kata “jenazah”.


Air matanya terus mencair,

lamat-lamat mengalir, merindukan gadis kecilnya,

gadis mungil yang biasanya pulang sambil menggenggam bunga liar

yang dipetik di tepi ladang.


Kini bunga itu hilang,

Harapan bertemu anaknya seakan terdelusi waktu,

hanya menyisakan rindu yang terkemas pilu.


Sang Bapak bersimpuh

di antara lumpur yang membisu.

Matanya sembab, memerah,

Air mata tak lagi sanggup meluruhkan luka di dadanya.


Suara rintihnya pecah,

hatinya remuk oleh rasa bersalah.

“Mengapa? Mengapa tak bisa ku selamatkan

buah hati yang ku jaga setengah mati?”


Tiga hari tiga malam,

Sang Bapak tak mau pulang.

Tak ada ruang untuk lapar,

meski jari-jarinya sudah gemetar,

kukunya patah menekuk tanah.


Seorang pria relawan tak kuasa menatap

tubuh renta yang menolak beranjak

dari bukit nestapa yang menelan banyak nyawa.

“Tulang, yok lah kita pergi, Tulang,”

kata si pria sambil menggamit tangan si Bapak.


Si Bapak bergeming,

meratapi sisa lumpur yang menelan isi bumi.

“Sudah dua hari, Boruku… Tuhan…” (3)

Suaranya terputus di antara

tangisan yang tersedak airmata.


Kalimat itu menggantung kosong.

Tak ada yang sanggup

mengobati luka hati seorang Bapak.

Ia kehilangan separuh jiwanya.


—000—


Hari ketiga pascabencana,

Si Bapak duduk di tanah berlumur air,

menyentuh sisa-sisa tubuh,

yang menyulam kenangan,

matanya meratap duka dan harap,

Borunya bisa ditemukan,

meski hanya tersisa sebuah potongan.


Hujan turun semakin deras,

menyapu puing dan debu.

Dunia menjadi kabur,

menyisakan luka trauma

bagi para penyintas Sumatera.


Seorang relawan menunduk,

menyeka keringat dan air mata sendiri,

menggenggam tangan Si Bapak yang

Kukuh tak mau beranjak dari sana. (3)


“Sang Bapak mengangkat pandangan.

Mata yang memerah menatap langit kelabu, mengirim doa yang tak berbunyi.

Hanya getar bibir dan napas tersengal terdengar.”


“Ijinkan kutemukan, anakku, meski hanya sebuah potongan yang tersisa.” (*)


Catatan:

(1)https://youtu.be/DsyEjM3_108?si=6o0Gjz_o92v1iIi5

(2)https://medan.kompas.com/read/2025/12/08/153809678/kota-sibolga-sumut-kembali-terendam-banjir-akibat-hujan-deras

(3)https://youtu.be/SRPF69clMCU?si=dBTOpN1sxZXXuhOk




 
Top