by bambang oeban | Sastrawan
Di negeri
bernama linimasa,
kata lebih tajam dari golok
hasil karya warga Ciwidey,
lebih cepat dari angkot jurusan
Cicaheum–Ledeng, dan lebih
kejam dari komentar
tanpa wajah.
Di sanalah bocil
bernama Resblok lahir
bukan dari rahim kebencian,
melainkan dari algoritma,
disusui oleh like.
Mahluk bermata rabun itu,
besar oleh donasi, dan dididik oleh riuh tepuk tangan virtual yang tak pernah mengajarkan cara meminta maaf dengan benar. Ia bicara, tanpa
berpikir bahwa lidah adalah wakil hati, dan hati adalah arsip sejarah.
Ia menyebut satu suku dengan nama binatang, seolah lupa:.di tanah ini, bahkan batu nisan pun
ditanam dengan adab.
Duh Resblok, kamu kira semua orang Sunda adalah tokoh figuran
di kolom chat live-mu? Kau kira mereka hanya angka statistik,.penonton pasif
yang boleh kau ludahi
lalu kau blok?
Tidak, Nak.
Orang Sunda itu
petani yang menanam padi
sambil bersyukur, pedagang
yang menimbang jujur
meski untung tipis,
guru yang mengajar dengan suara pelan tapi doa panjang, ibu-ibu yang marahnya sebentar namun maafnya seluas sawah Subang.
Dan Viking?
Itu bukan sekadar suporter.
Itu adalah identitas, ritual, dan cinta yang kadang berisik namun setia. Kamu boleh tidak suka sepak bola,
tapi jangan hina manusianya.
Ketika videomu viral, bukan hanya server yang panas, tapi luka lama ikut terbuka. Suku, agama, ras …
itu bukan menu candaan.
Itu sejarah panjang yang ditulis dengan darah, air mata, dan sumpah “tidak boleh terulang”.
Kau bilang:
“cuma bercanda.”
Tapi bercanda yang menginjak martabat adalah ejekan, dan ejekan yang disiarkan adalah penghasutan.
Hukum lalu datang bukan sebagai algojo, melainkan cermin. Pasal demi pasal dibacakan bukan untuk membalas dendam, tapi untuk mengingatkan: kebebasan berekspresi berhenti di ujung
harga diri orang lain.
Kamu kabur, pindah kota, berlari dari notifikasi laporan. Surabaya, Solo, Semarang, semua terasa sempit ketika dosa ikut menumpang
di tas ranselmu. Akhirnya borgol bukan lagi metafora, dan sel tahanan.bukan lagi komentar pedas.
Polda Jabar.
Tempat di mana bahasa Sunda bukan aksen lucu, melainkan napas harian. Dari petugas jaga sampai tukang sapu, dari penyidik sampai sesama tahanan, kau akan mendengar bahasa yang dulu kamu hina mengalun tenang,
tanpa makian,
tanpa dendam.
Dan di sanalah hukuman paling berat bukan jeruji, melainkan
RASA MALU!
Seram?
Iya.
Bukan karena mereka buas,
tapi karena mereka manusia yang kamu lukai tanpa mereka pernah mengenalmu. Orang Sunda jarang membalas dengan teriakan. Mereka membalas dengan sikap.
Dengan diam yang panjang.
Dengan tatapan yang datar.
Dengan kalimat sederhana:
“Teu hadé kitu téh.”
Dan kalimat itu lebih
menghantam daripada
satu juta hujatan.
Kampusmu mencabut statusmu. Bukan karena ingin menghancurkan masa depanmu, tapi karena pendidikan bukan sekadar IPK, melainkan etika. Gelar sarjana tanpa adab hanyalah papan nama tanpa isi. Universitas bukan pabrik ijazah, tapi rumah nilai.
Dan kamu, Nak, perlu belajar ulang pelajaran paling dasar: menghormati sesama warga bangsa.
Lalu kamu minta maaf.
Kami dengar.
Permintaan maaf
bukan tiket bebas hukuman, tapi pintu kecil menuju pemulihan.Kau bilang dibesarkan oleh ibu sambung Sunda.
Justru itu,
sakitnya berlipat.
Karena penghinaanmu bukan datang dari orang asing, melainkan dari anak yang pernah dipeluk oleh budaya yang ia ludahi.
Puisi Pamflet ini tidak ingin. menenggelamkanmu. Tidak ingin menertawakan nasibmu yang kini sempit seperti kamar tahanan. Kami tidak bersorak melihatmu jatuh. Kami hanya ingin kamu bangun dengan kesadaran baru. Bahwa di Indonesia, beda itu kodrat,
hormat itu pilihan, dan mulut adalah tanggung jawab.
Lebay,
humor boleh,
satir silakan,
kritik wajib.
Tapi hinaan adalah kemalasan berpikir. Mengatai satu suku tidak membuatmu pintar, hanya membuatmu telanjang di hadapan nurani.
Dan tentang “anjing” yang kamu jadikan kata maki. Di banyak kampung Sunda, anjing justru setia. Ia menjaga rumah, tidur di teras, dan menggonggong hanya
jika ada bahaya …
Ia tidak menghina.
Ia tidak livestream.
Ia tidak mencari viral.
Kadang binatang lebih beradab daripada manusia yang lupa daratan digital.
Solusi?
Ada.
Belajar diam sebelum bicara.
Belajar membaca sebelum menilai.
Belajar meminta maaf
tanpa alasan tambahan.
Belajar bahwa Indonesia bukan kolom komentar, melainkan rumah besar dengan banyak kamar budaya.
Kalau kamu tidak betah di satu kamar, keluarlah dengan sopan, bukan membakar kasurnya.
Kelak,
jika kamu bebas,
jadilah manusia yang pernah bersalah dan memilih berubah, bukan influencer yang bangga pernah viral karena kebencian. Jadilah peringatan hidup bahwa kata-kata bisa memenjarakan lebih cepat daripada kejahatan fisik.
Puisi Pamflet ini
bukan palu,
bukan borgol,
bukan vonis.
hanya cermin. Dan jika kamu berani bercermin, kamu akan tahu: yang perlu diperbaiki bukan suku orang lain, melainkan isi kepalamu sendiri. Indonesia terlalu berharga untuk dirusak oleh mulut yang tidak sekolah hati. (*)
Dari Timur Bekasi
Kamis, 18 Des 2025
15.30

