Oleh: Junaidi Ismail | Wartawan Utama
BANJIR besar yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, pada penghujung 2025 bukanlah sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah akumulasi panjang dari krisis ekologis, tata kelola ruang yang abai, serta kebijakan kebencanaan yang masih lebih reaktif daripada preventif. Dalam skala tertentu, banjir ini bahkan dapat disebut sebagai bencana pembangunan, yakni bencana yang dampaknya diperparah oleh pilihan-pilihan kebijakan manusia.
Ribuan rumah terendam, ratusan fasilitas publik rusak, lahan pertanian gagal panen, dan ekosistem sungai serta daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan serius. Negara hadir, bantuan disalurkan, masa tanggap darurat ditetapkan dan diperpanjang. Namun satu hal krusial tidak terjadi, bencana ini tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Keputusan tersebut mungkin sah secara administratif, tetapi menyisakan persoalan strategis yang mendalam. Tanpa status bencana nasional, proses normalisasi, baik lingkungan, sosial, maupun ekonomi, berpotensi berjalan sangat lama, terfragmentasi, dan tidak menyentuh akar persoalan.
Dalam wacana kebencanaan modern, normalisasi tidak lagi dimaknai sebatas membangun kembali rumah yang rusak atau memperbaiki jalan yang terputus. Normalisasi adalah proses multidimensional yang mencakup: Pemulihan fisik dan infrastruktur, Pemulihan sosial dan psikologis masyarakat, Pemulihan ekonomi dan mata pencaharian, Pemulihan ekosistem dan lingkungan hidup, serta Reformasi kebijakan untuk mencegah bencana berulang.
Sayangnya, kebijakan publik kita masih cenderung berhenti pada poin pertama dan kedua. Padahal, pada kasus banjir Sumatra akhir 2025, kerusakan terbesar justru terjadi pada dimensi ketiga dan keempat, yang membutuhkan waktu, biaya, dan komitmen jauh lebih besar.
Banjir di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memiliki karakteristik yang berbeda, namun disatukan oleh satu benang merah: kerusakan ekosistem hulu dan hilir sungai.
Di Aceh, luapan sungai dan banjir bandang dipicu oleh degradasi kawasan hutan dan pertambangan di daerah tangkapan air. Di Sumatra Utara, alih fungsi lahan dan kepadatan pemukiman di bantaran sungai memperparah genangan. Sementara di Sumatra Barat, topografi perbukitan dan curah hujan ekstrem mempercepat aliran air yang membawa material lumpur dan kayu ke kawasan permukiman.
Dampak lintas provinsi ini seharusnya menjadi indikator kuat bahwa bencana tersebut bukan lagi persoalan lokal atau regional, melainkan persoalan nasional.
Pemerintah menargetkan fase rehabilitasi dan rekonstruksi jangka pendek rampung dalam 100 hari. Target ini penting sebagai simbol kehadiran negara, tetapi juga menyimpan ilusi bila tidak diikuti kebijakan struktural.
Dalam 100 hari, mungkin saja: Jalan darurat dibuka, Jembatan sementara dipasang, Huntara dibangun, dan Bantuan logistik disalurkan.
Namun dalam 100 hari, mustahil: Ekosistem sungai pulih, Tanah pertanian kembali subur, Psikologi korban sepenuhnya pulih, serta Pola tata ruang diperbaiki.
Target waktu yang terlalu sempit berisiko menggeser orientasi dari kualitas pemulihan menjadi sekadar pencapaian administratif.
Perpanjangan masa tanggap darurat di Sumatera Barat hingga 22 Desember 2025 menunjukkan bahwa dampak bencana jauh lebih kompleks dari perkiraan awal. Perpanjangan ini bukan kelemahan pemerintah daerah, melainkan sinyal bahwa kapasitas daerah memiliki batas.
Namun ironisnya, batas tersebut tidak direspons dengan eskalasi status bencana ke tingkat nasional. Akibatnya, daerah harus terus bernegosiasi dengan keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, dan kewenangan.
Salah satu dampak paling serius dari banjir Sumatera adalah lumpuhnya sektor pertanian, khususnya padi. Sawah terendam berhari-hari, irigasi rusak, dan bibit membusuk. Bagi petani, banjir bukan hanya kehilangan panen, tetapi kehilangan siklus hidup.
Pemulihan sektor ini diperkirakan membutuhkan waktu hingga satu tahun. Itu pun dengan asumsi: Bantuan tepat sasaran, Cuaca mendukung, dan Tidak terjadi banjir susulan.
Tanpa jaminan ini, petani berisiko terjerumus dalam kemiskinan struktural. Di sinilah negara seharusnya hadir tidak hanya sebagai pemberi bantuan, tetapi sebagai penjamin keberlanjutan hidup.
Kerusakan ekosistem adalah dampak paling sunyi, namun paling berbahaya. Sungai yang dangkal akibat sedimentasi, hutan yang kehilangan fungsi resapan, dan tanah yang terdegradasi tidak dapat pulih dalam hitungan tahun.
Beberapa kajian lingkungan menyebutkan bahwa pemulihan total ekosistem pasca-banjir besar dapat memakan waktu hingga 30 tahun. Tanpa intervensi serius, wilayah yang sama akan terus menjadi langganan banjir, menciptakan lingkaran setan bencana.
Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) dan pembangunan huntara adalah langkah taktis yang patut diapresiasi. Namun keduanya bersifat sementara. OMC tidak bisa menggantikan fungsi hutan, dan huntara bukan solusi hunian jangka panjang.
Tanpa kebijakan lanjutan, solusi sementara ini berisiko menjadi permanen, sebagaimana banyak kasus huntara yang berubah menjadi permukiman kumuh baru.
Penetapan status bencana nasional sering dipahami secara keliru sebagai simbol kegagalan daerah. Padahal, dalam kerangka hukum kebencanaan, status tersebut adalah instrumen untuk: Mobilisasi anggaran nasional, Koordinasi lintas kementerian, Penyederhanaan regulasi, Percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Tanpa status tersebut, pemulihan berjalan parsial dan bergantung pada kreativitas daerah yang terbatas.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dari bencana. Tanggung jawab ini tidak boleh direduksi menjadi sekadar bantuan darurat.
Dalam perspektif hukum, pembiaran terhadap pemulihan yang lamban dapat dikategorikan sebagai kelalaian struktural, terutama bila negara memiliki kapasitas namun memilih tidak menggunakannya secara optimal.
Banjir Sumatra akhir 2025 adalah peringatan keras bahwa krisis lingkungan dan kebijakan kebencanaan tidak bisa lagi ditangani secara biasa-biasa saja. Tanpa status bencana nasional, normalisasi akan berjalan terlalu lama, terlalu mahal, dan terlalu berisiko bagi masa depan masyarakat.
Normalisasi yang setengah hati hanya akan menormalisasi satu hal, ketidakpastian hidup warga di wilayah rawan bencana.
Negara harus berani mengambil keputusan strategis, bukan hanya aman secara administratif. Karena dalam bencana, keberanian politik sering kali menentukan seberapa cepat dan seberapa adil kehidupan bisa dipulihkan. (*)

