MALANG, JATIM – Di usia ke-111 tahun, Kota Malang merayakan dirinya bukan hanya dengan gegap gempita seremoni, tetapi dengan sebuah penanda peradaban: peluncuran buku Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang. Buku setebal 550 halaman ini hadir sebagai monumen literasi yang mengabadikan perjalanan stadion tertua di Indonesia—sebuah ruang sejarah yang telah menyatu dengan denyut nadi kota selama satu abad.

Peluncuran dan bedah buku yang digelar Jumat (19/12/2025) di Grand Mercure Hotel Malang berlangsung dalam suasana reflektif dan penuh kebanggaan. Hadir Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin, para penulis lintas disiplin, pegiat budaya, hingga tokoh literasi dan penerbit Malang Raya. Momentum ini sekaligus menjadi bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun ke-111 Kota Malang dan pengakuan UNESCO terhadap Malang sebagai Kota Kreatif Dunia.

Buku ini terbit pada tahun yang sarat simbol sejarah: satu abad Stadion Gajayana, usia Kota Malang yang menembus angka filosofis 111, serta pengakuan internasional atas kreativitas dan kebudayaan kota.

Monumen Literasi Kota

Stadion Gajayana bukan sekadar bangunan olahraga. Ia adalah saksi bisu lintasan sejarah panjang—dari era kolonial Belanda, pendudukan Jepang, perjuangan kemerdekaan, hingga menjadi rumah spiritual sepak bola Malang modern. Dibangun pada 1924–1926 dengan biaya 100.000 gulden, stadion ini bahkan lebih tua dari Republik Indonesia.

Hingga kini, Stadion Gajayana tercatat sebagai stadion tertua di Indonesia yang masih berdiri kokoh dan tetap berfungsi aktif. Dalam catatan sejarah olahraga nasional, memang terdapat stadion yang dibangun lebih awal, seperti Stadion Menteng di Jakarta yang berdiri sejak 1921. Namun stadion tersebut telah dirobohkan pada 2006 dan kini beralih fungsi menjadi Taman Menteng, sehingga tidak lagi berwujud sebagai stadion.

Stadion Sriwedari di Solo juga kerap disebut dalam historiografi olahraga Indonesia sebagai stadion yang dibangun atas perintah penguasa pribumi, Sri Susuhunan Pakubuwono X. Namun pembangunan Sriwedari baru dimulai pada 1932, sehingga secara usia tetap lebih muda dibandingkan Stadion Gajayana. Fakta-fakta ini menegaskan posisi Gajayana sebagai artefak olahraga paling sepuh yang masih hidup di Indonesia.

Warisan Nilai Budaya

“Buku Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang merupakan bukti nyata kesatuan kolaborasi yang hidup di Kota Malang,” ujar Wakil Wali Kota Malang Ali Muthohirin dalam sambutannya. Menurutnya, pembangunan kota tidak boleh terlepas dari akar budaya dan sejarahnya.

“Membangun memang harus berorientasi pada kemajuan zaman dan visi masa depan. Namun jangan sampai kita kehilangan karakter, jati diri, dan akar keluhuran sebagai manusia berbudaya,” tegas Ali.

Ia menilai proses penulisan buku ini sebagai bentuk ibadah intelektual. “Menulis bukan hanya mengolah pikiran, tetapi juga mengolah jiwa, hati, dan batin. Apa yang dituliskan hari ini akan menjadi penanda zaman dan warisan bagi generasi mendatang,” katanya.

Kolaborasi Para Penulis

Buku Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang merupakan hasil kerja kolaboratif sekitar 40 penulis yang tergabung dalam Spektrum Satu Abad Stadion Gajayana. Mereka berasal dari beragam latar belakang—sejarawan, akademisi, jurnalis, budayawan, arsitek, hingga praktisi olahraga.

Struktur buku disusun dalam 12 babak besar yang mengulas transformasi fisik stadion, konteks sosial-historis Kota Malang, peran stadion sebagai ruang publik dan budaya, hingga gagasan masa depan menjadikan Stadion Gajayana sebagai pusat GLAM (Gallery, Library, Archive, and Museum). Narasi yang disajikan tidak hanya menampilkan sisi kejayaan, tetapi juga fase-fase gelap dan tantangan yang pernah dihadapi stadion sepanjang sejarahnya.

Warisan Literasi Kota

Ketua IKAPI Kota Malang sekaligus pimpinan Media Nusa Creative Publishing, Gedeon Soerja Adi, menilai buku ini sebagai tonggak penting bagi literasi lokal. “Ini bukan buku biasa, melainkan buku warisan. Sejarah lokal harus ditulis dengan kesadaran jangka panjang, karena di sanalah identitas sebuah kota dirawat,” ujarnya.

Menurut Gedeon, penerbitan buku ini juga menegaskan posisi Malang sebagai Kota Kreatif Dunia. “UNESCO tidak hanya berbicara tentang industri kreatif, tetapi juga tentang ekosistem pengetahuan dan memori kolektif. Buku ini adalah bukti bahwa Malang memiliki tradisi literasi yang kuat dan berkelanjutan,” katanya.

Memori dan Masa Depan

Lebih dari sekadar kronik stadion, buku ini membaca Gajayana sebagai ruang kolektif tempat ingatan dan harapan bertemu. Stadion ini pernah menjadi lokasi penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 1942, markas militer rakyat Malang saat Agresi Militer Belanda I, hingga arena pidato Bung Tomo yang membakar semangat perjuangan.

Dalam konteks Malang yang terus bergerak maju, buku Satu Abad Stadion Gajayana Kota Malang hadir sebagai pengingat bahwa modernitas tidak boleh memutus ingatan. “Verba volant, scripta manent,” ujar Ali Muthohirin. Apa yang dituliskan akan tinggal dan menjadi warisan.

Melalui buku ini, Stadion Gajayana tidak hanya berdiri sebagai bangunan tua di jantung kota, tetapi sebagai jiwa Kota Malang—yang hidup, dikenang, dan terus diwariskan melalui literasi lintas generasi.

#rel/ede





Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top