Era Nurza | Penulis
Tanah airku merintih
Suaranya bukan teriakan tetapi gesekan
akar yang patah di dalam tanah longsor
desis uap panas dari perut gunung yang murka
riak air bah yang menyapu nama desa dari peta
Dia merintih dalam frekuensi rendah
di antara getaran bor yang mengejar batubara
di bawah pondasi tol yang membelah hutan larangan
dalam senyapnya burung endemik yang kehilangan nada
Kami menyebutnya “bencana alam”
sebuah frasa yang membersihkan tangan
mengubur kesalahan dalam istilah teknis
Tanah airku merintih dan kami
menyetel musik lebih keras
men-scroll timeline lebih cepat
memesan kopi dalam gelas sekali pakai
Sungai-sungainya adalah urat nadi yang tersumbat
oleh plastik dan limbah janji
Gunung-gunungnya adalah pundak yang terbebani
oleh beban deforestasi dan embel-embel“pariwisata super”.
Tanah airku merintih
Dengarkan
Dia memanggil dengan suara tanah retak
mengaduh dengan hembus angin dari tempat pembuangan akhir
Apakah kita hanya akan merekam rintihannya
dalam format video pendek
lalu membubuhnya dengan filter yang indah? (*)
Padang, Desember 2025


