Kaba “Catuih Ambuih”


Oleh: Bagindo Ishak Fahmi | Penulis


DI TENGAH derita banjir besar yang melanda sejumlah daerah di Sumatera , negeri ini kembali menatap wajah kepemimpinannya sendiri wajah yang tampak pucat, gugup, dan kehilangan arah. Bencana yang merenggut ratusan hingga ribuan nyawa bukan hanya tragedi ekologis, tetapi cermin retak yang memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi politik kita. Ketika air bah menenggelamkan rumah dan masa depan warga, banjir lain yang lebih sunyi ternyata tengah menggenangi ruang kekuasaan: banjir ketidakmampuan, banjir minimnya etikabilitas, dan banjir tumpulnya intelektualitas pejabat publik.

Etikabilitas dan Intelektualitas yang Ditinggalkan

Dua istilah penting perlu ditegaskan sejak awal. Etikabilitas, yakni kemampuan bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan etika, integritas, keberanian moral, dan rasa tanggung jawab pada publik. Sementara intelektualitas adalah kapasitas seorang pemimpin untuk berpikir kritis, membaca persoalan secara sistemik, serta menyusun kebijakan berdasarkan pengetahuan, analisis data, dan keluasan wawasan.

Kedua kualitas ini sejatinya adalah fondasi kepemimpinan yang beradab. Namun dalam praktik politik kita, keduanya bukan indikator utama menuju jabatan publik. Yang dijadikan ukuran adalah elektabilitas popularitas sesaat, keterkenalan, atau kemampuan mobilisasi massa yang sering kali ditopang oleh uang. Dalam banyak kontestasi politik lokal maupun nasional, kualitas moral dan kapasitas intelektual tersingkir oleh “uang yang terbilang” dan “emas yang berbungkah”. Proses politik terperosok pada pragmatisme yang dangkal siapa yang punya modal lebih besar, dialah yang dianggap layak diusung.

Pepatah Minang yang Terabaikan

Orang Minang memiliki falsafah luhur “raso dibaok naiak, pareso dibaok turun.” Raso adalah kehalusan perasaan, empati, kebijakan batin seharusnya dipakai untuk menimbang setiap langkah. Pareso adalah nalar, pemeriksaan akal, kemampuan berpikir jernih diturunkan untuk memastikan bahwa keputusan diambil dengan pertimbangan matang. Kedua unsur itu berkulindan untuk membentuk manusia utuh, manusia yang layak memimpin.

Tetapi dalam politik hari ini, raso dan pareso tercerai. Pemimpin cenderung menyampaikan hal-hal yang menenangkan, bukan karena kebijaksanaan, melainkan demi menutupi ketidaktahuan atau ketidakmampuan. Publik pun menyaksikan sendiri bagaimana pernyataan sebagian pejabat mengenai bencana banjir begitu dangkal, serba menggampangkan, dan kadang tidak menunjukkan kompetensi di bidang yang diemban.

Ketika seorang bupati mengaku “tidak sanggup lagi mengatasi masalah”, itu bukanlah kerendahan hati, tetapi sinyal ketidakmatangan kepemimpinan. Pemimpin bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah jangkar moral, penentu arah, dan titik harapan masyarakat yang tengah dirundung bencana. Jika jangkar itu sendiri goyah, kapal jelas akan karam.

Bencana yang Menelanjangi Mutu Kepemimpinan

Bencana ekologis selalu membeberkan banyak hal yang luput dalam keseharian. Ia menampakkan apa yang selama ini ditutupi lemahnya penegakan hukum, rusaknya tata kelola sumber daya alam, dan rapuhnya karakter kepemimpinan. Dalam kasus banjir besar Sumatera, publik menyaksikan sendiri bagaimana struktur negara tidak cukup siap menghadapi lonjakan risiko yang sejatinya sudah lama diperingatkan para ahli.

Di titik ini, penting menelaah ringkasan pandangan ahli sosiologi hukum internasional. Prof. Klaus Bosselmann, salah satu tokoh terkemuka Earth Jurisprudence, dengan tajam menyatakan:

(“A state that fails to protect its ecological foundations is a state that fails its people. Environmental destruction is not only a technical failure; it is a profound ethical and legal breach.”)

Negara yang gagal melindungi fondasi ekologisnya telah gagal melindungi rakyatnya. Kerusakan lingkungan bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi pelanggaran etis dan hukum yang mendasar.

Bencana lingkungan selalu membuka tabir arsitektur moral suatu bangsa siapa yang dilindungi, siapa yang ditinggalkan, dan siapa yang mengambil keuntungan dari keruntuhan itu.

Sementara Prof. Upendra Baxi, pemikir hukum internasional terkemuka, mengingatkan: Environmental Ethics and Climate Change Denialism (2023)

(“Law often arrives too late for the victims of ecological devastation; it functions as an archive of losses rather than a guardian against future harm.”)

“Hukum sering datang terlambat bagi korban kerusakan ekologis ia lebih berfungsi sebagai arsip kehilangan daripada penjaga terhadap bahaya di masa depan.”

Kedua pandangan ini relevan dibaca dalam konteks Indonesia banjir besar bukan hanya air yang meluap, tetapi akumulasi kelalaian negara dalam melindungi ekologi dari kerakusan tangan-tangan yang menebang hutan, mengeruk gunung, dan mengekstraksi bumi tanpa batas.

Dua Luka Lama yang Tak Kunjung Diobati

Berulangnya bencana ekologis tidak bisa dilepaskan dari praktik ilegal mining dan ilegal logging yang kian masif. Hutan-hutan di negeri ini ditebang dengan bengis, sungai diperdagangkan, dan daerah tangkapan air digerus tanpa ampun. Alam menyediakan kehidupan, tetapi ketika manusia memperlakukannya bak komoditas tanpa batas, alam pasti menagih dengan cara yang menyakitkan.

Sejumlah daerah di Sumatra seperti Aceh,Sumut dan Sumbar kini merasakan akibatnya tebing yang longsor, sungai yang meluap, dan desa-desa yang tenggelam. Di balik semua itu, publik bisa membaca pola yang sama lemahnya kontrol negara, absennya pengawasan, dan adanya “tangan-tangan tak terlihat” yang berkolusi mengamankan operasi ilegal.

Jika negara tidak mampu menghentikan perusakan itu, bagaimana mungkin ia dapat melindungi warganya dari bencana dan tidak menutup kemungkinan wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi dan daerah lainnya, yang lahir dari perbuatan sendiri ?

Pertanyaan mendasar mengemuka,mengapa pemimpin yang minim etikabilitas dan intelektualitas bisa menduduki posisi strategis? Jawabannya sederhana, meski menyedihkan, kita memilih mereka.

Pemilihan kita baik secara langsung maupun melalui partai banyak dipengaruhi oleh elektabilitas yang sering kali digerakkan oleh uang. Demokrasi yang seharusnya meritokratis berubah menjadi arena transaksional. Politik bukan lagi kompetisi gagasan, tetapi kompetisi logistik.

Selama pemilih menerima uang sebagai pertimbangan, selama partai politik memprioritaskan kandidat yang “siap modal”, selama kita memuja popularitas ketimbang nilai, siklus kepemimpinan yang rapuh akan terus berulang. Dan setiap kali pemimpin rapuh itu diuji oleh bencana, rakyatlah yang paling menanggung akibatnya.

Kembali ke Jalan yang Benar

Kini negeri ini berada di persimpangan. Kita bisa terus berdalih bahwa banjir adalah kehendak alam. Kita bisa menyalahkan cuaca ekstrem, fenomena global, atau hal-hal yang di luar kendali. Namun menyandarkan semuanya kepada alam adalah bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab moral dan politik.

Jika penyebab bencana ini berakar dari eksploitasi lingkungan, kelalaian pengawasan, dan lemahnya kepemimpinan, maka jalan keluarnya pun harus dimulai dari perbaikan tiga hal itu:

Pertama menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu, termasuk memutus jejaring ekonomi politik yang menopang bisnis ilegal.

Kedua mengembalikan standar etikabilitas dan intelektualitas sebagai prasyarat kepemimpinan.

Ketiga mereformasi pola rekrutmen pejabat publik dengan ” meritokrasi” yang ketat.

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang menjadikan raso sebagai kompas dan pareso sebagai jangkar. Pemimpin yang bukan sekadar hadir saat seremonial, tetapi hadir dengan nalar yang kuat dan empati yang nyata pada saat bencana melanda.

Masa Depan Tidak Bisa Ditukar dengan Uang

Indonesia adalah negeri dengan kekayaan alam yang melimpah, tetapi kekayaan itu tidak akan berarti jika dikelola oleh pemimpin yang miskin integritas dan dangkal kapasitas. Alam telah menunjukkan peringatannya. Kini, giliran kita menentukan apakah peringatan itu akan diabaikan atau dijadikan titik balik.

Pemimpin yang hanya mengandalkan elektabilitas adalah pemimpin yang hanya hebat di baliho, bukan di medan krisis. Pemimpin yang mengabaikan etikabilitas dan intelektualitas adalah pemimpin yang mewariskan bencana, bukan harapan.

Bencana banjir ini seharusnya menyadarkan bahwa masa depan negeri ini tidak bisa ditebus dengan uang dan popularitas. Masa depan hanya bisa dijaga oleh mereka yang kembali ke jalan yang benar jalan integritas, jalan kepedulian, dan jalan keberanian intelektual.

Karena hanya dengan itulah, kita dapat membangun negeri yang bukan saja selamat dari banjir, tetapi juga selamat dari banjir kegagalan kepemimpinan. (*)

Padang, Desember 2025




 
Top