Rosadi Jamani | Penulis

-- Ketua Satupena Kalbar


KITA break sebentar soal hura-hara di negeri ini. Sebentar saja. Soalnya, tetangga kita, sesama ASEAN malah terlibat perang bersenjata. Kontingen Kamboja yang sedang berlaga di SEA Games Thailand, cabut. Sementara Thailand terus melancarkan serangan ke Kamboja. Sudah 10 orang tewas. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!

Kalau dipikir-pikir, dunia ini mungkin diciptakan dengan pilihan sederhana, ngobrol atau ngebom. Dua tombol. Tinggal pilih. Tapi entah kenapa, manusia, makhluk paling bangga punya akal budi, lebih sering memilih tombol ngebom. Seolah tombol ngobrol sambil ngopi itu cuma pajangan museum. Padahal, satu cangkir kopi bisa menurunkan emosi satu negara. Tapi apa boleh buat, beberapa pemimpin tampaknya lebih suka aroma mesiu dari aroma liberika.

Lihat saja apa yang terjadi pada Kamboja di SEA Games 2025. Pada malam Selasa, 9 Desember 2025, mereka masih ikut upacara pembukaan di Thailand. Senyum-senyum, dadah-dadah, kameranya jalan terus. Penonton bersorak, lagu nasional berkumandang, semua tampak damai seperti iklan multivitamin. Tapi begitu matahari terbit keesokan harinya, Rabu, 10 Desember, seluruh delegasi Kamboja sudah lenyap. Menguap. Hilang seperti cerita cinta yang tak direstui. Mereka pulang tanpa drama, tanpa pidato, tanpa pamit. Langsung cabut. Meninggalkan panitia dan tuan rumah yang bengong seperti habis ditinggal nikah oleh mantan.

Padahal panitia mengaku sudah sangat ramah. Media Thailand bilang atlet Kamboja bahkan terkesan. Nah, ini makin misterius. Kalau sudah terkesan tapi masih minggat, berarti ada yang jauh lebih mengerikan dari ketidakhadiran nasi kotak, perang. Perang yang meledak tepat saat negara-negara Asia Tenggara ingin pameran prestasi olahraga, bukan prestasi persenjataan.

Hubungan Thailand–Kamboja beberapa bulan terakhir memang seperti Tom and Jerry. Ada gencatan, ada tuduhan, ada balasan, ada “kita damai ya” tapi semua itu cuma sementara, seperti resolusi diet yang hancur pada minggu pertama. Pada 8 Desember 2025, Thailand kembali menyerang wilayah Kamboja setelah saling tuduh melanggar gencatan. Mayor Jenderal Winthai Suvaree mengatakan dua prajurit Thailand terluka. Otoritas udara Thailand bilang mereka sangat berhati-hati memilih target. Sangat berhati-hati, katanya. Padahal targetnya, infrastruktur militer, gudang senjata, pusat komando, jalur logistik yang kalau salah koordinat sedikit saja, bisa nyasar ke rumah tukang urut terdekat.

Di sisi lain, Kamboja membalas dengan roket BM-21 ke wilayah sipil Thailand. Di Surin, roket jatuh di dekat Rumah Sakit Phanom Dong Rak. Kalau sudah dekat rumah sakit, itu bukan lagi perang strategis. Itu sudah masuk kategori “Dewa pun geleng-geleng”.

Korban jiwa terus bertambah. Data internasional menyebut sedikitnya 10 orang tewas, terdiri dari 7 warga sipil Kamboja dan 3 tentara Thailand. Korban luka-luka pun menggunung, 29 tentara Thailand terluka, 20 warga sipil Kamboja juga terluka. Di beberapa laporan lain, angka warga sipil yang tewas di Kamboja mencapai 9 orang. Ratusan ribu warga mengungsi ke pasar, bunker, tempat penampungan darurat, semua tempat yang seharusnya tidak pernah menjadi rumah.

Di tengah kondisi seperti ini, siapa atlet yang sanggup lari 100 meter dengan konsentrasi penuh kalau kampung halamannya sedang dihujani roket? Bagaimana mau bertanding karate kalau tiap jam ada notifikasi, “Wilayahmu diserang lagi, harap waspada”? Maka keputusan Kamboja mundur bukan cuma logis, itu satu-satunya keputusan waras di tengah dunia yang sedang mabuk konflik.

ASEAN mulai gelisah, Amerika Serikat ikut bersuara lewat Menlu Marco Rubio, meminta kedua pihak kembali ke meja diplomasi sesuai Perjanjian Perdamaian Kuala Lumpur. Semua mendesak damai. Semua minta berhenti. Semua capek.

Kita para penikmat Koptagul bertanya lagi, kenapa jalan perang yang selalu dipilih? Kenapa tak bisa duduk, minum kopi, dan bicara pelan-pelan? Sayang sekali. Terlalu sayang. Dunia kehilangan akal sehatnya, lagi.

“Untung saja, kita bertetangga dengan Malaysia sangat harmonis. Kecuali, soal sepakbola.”

“Benar, wak. Soal sepakbola hanya panas di medsos saja. Di luaran, tetap ngopi bareng.” (*)

#camanewak





 
Top