Syaefudin Simon | Penulis

Anggota Satupena Jakarta


BAYANGKAN di malam sunyi, 15 abad lalu, Umar bin Khatab, khalifah yang dikenal sederhana dan adil, berjalan di kegelapan membawa karung beras ke rumah-rumah kaum miskin di Mekah dan sekitarnya. Umar tak butuh pengakuan manusia atas kepedulian terhadap rakyatnya.

Apa yang dilakukan Umar adalah bentuk tanggung jawab moral sebagai khalifah. Ia tak butuh panggung untuk memenuhi tanggung jawabnya. Biarlah, hanya Allah yang tahu apa niat yang ada di hati Umar.

Lima belas abad kemudian, keikhlasan Umar “dicontoh oleh pemimpin umat” di Era Jokowi. Ketika banjir dan longsor meluluhlantakkan Aceh, Sumut, dan Sumbar (yang menelan korban ribuan jiwa, menghancurkan ribuan rumah, dan menyebabkan puluhan ribu penduduk kehilangan harta bendanya), tetiba muncul sosok pemimpin yang “mirip” Umar bin Khatab.

Siapa dia? Itulah Zulkifli Hasan atau yang lebih dikenal dengan Zulhas — mantan Menteri Kehutanan 2009/2014 yang kini menjabat Menko Pangan. Zulhas berjalan di antara lumpur dan puing-puing rumah yang hancur akibat banjir bandang dan longsor, memanggul sekarung beras di pundaknya, Mirip dengan apa yang dilakukan Umar 15 abad lalu ketika kota Mekah dilanda kelaparan.

Beda antara Umar dan Zulhas sedikit saja. Jika Umar memanggul karung makanan itu di waktu malam yang sepi tanpa diketahui siapa pun, Zulhas sebaliknya. Dengan baju putih bersih, sepatu bot oranye, dan sekarung beras 25 kg di pundak, Zulhas sengaja membawa juru foto agar merekam adegan itu. Lalu, virallah adegan Zulhas tersebut di berbagai platform sosial media internet.

Apa yang kemudian terjadi? Alih-alih mendapat pujian umatnya seperti Umar bin Khatab, Zulkifli Hasan justru mendapat caci maki yang tiada henti. Banyak netizens Indonesia mengamuk melihat aksI Zulhas.

Gila! Perusak hutan yang menyebabkan banjir bandang daan longsor itu, sedikit pun tak menunjukkan rasa bersalah. Bahkan Zulhas kemudian menampilkaan diri bak pahlawan dengaan memaanggul sekarung beras! Luar biasa dagelannya.

Lalu? Kita pun diingatkan sosok lain: Harrison Ford, aktor Hollywood, yang datang ke Taman Nasional Tesso Nilo National, Riau, pada 2013 lalu. Ia terbang dengan helikopter, menyaksikan sendiri kehancuran hutan — sebagian besar sudah berubah menjadi kebun sawit dan pertambangan ilegal.

Satwa langka kehilangan rumah. Patroli WWF menemukan: dari 83 ribu hektare hutan di taman nasional Tesso Nilo, tinggal sebagian kecil yang benar-benar hutan alam.

Ford tak bisa menyembunyikan kekecewannya. Ia menemui Zulkifli Hasan yang saat itu menjabat menteri kehutanan. Ford bertanya lantang: mengapa hutan lindung dirusak, mengapa kehancuran hutan tak bisa dihentikan?

Dan jawab Zulhas, sekenanya, asal-asalan. Bahkan mengaitkan kerusakan Tesso Nilo sebagai bentuk demokrasi. Wawancara itu memanas, membuat publik terhenyak. Bahkan, Ford saking marahnya kepada Zulhas, sampai menggebrak meja.

Sekarang, bayangkan ironinya: orang yang dulu diberi mandat menjaga hutan — membiarkannya dijarah. Dan ketika banjir bandang dan longsor menerjang, sebagai balasan alam yang tertunda, Zulhas hanya datang dengan sekarung beras dan kameranya, tanpa sedikit pun merasa bersalah.

Zulhas terkenal sebagai menteri kehutanan paling rakus dan destruktif. Saat menjabat menhut, ia melonggarkan praktik jual-beli izin deforestasi hutan; alih fungsi lahan, dan pengerukan hutan untuk tambang, dengan selubung narasi demi “pembangunan dan pertumbuhan ekonomi”.

Lalu ketika bencana dahsyat menerjang, akhir November 2025 lalu, Zulhas datang bak pahlawan dengan memanggul karung beras untuk penduduk yang meradang.

Kini Umar bin Khatab sudah tiada. Tapi keteladanannya tetap hidup sebagai cermin untuk pemimpin yang membela, bukan mengeksploitasi. Tidak seperti Zulhas, yang ingin menghapus dosanya dengan sekarung beras berisi 25 kg.

Zulkifli Hasan — Anda tak bisa menghapus jejak izin konsesi, alih fungsi lahan, dan jutaan pohon yang tumbang — dengan sekarung beras di depan kamera. Sungguh perbuatanmu biadab dan menyakitkan rakyat.

Ingat! Harrison Ford pernah menegurmu. Tapi kau tidak mau mendengarnya. Katamu, demokrasi di Indonesia yang kebablasan menyebabkan hutan dan taman nasional dijarah.

Itu jawaban orang gendeng! (*)



 
Top