Rosadi Jamani | Penulis
Ketua Satupena Kalbar
SIAPA sih yang tidak marah melihat banyaknya korban dan rusaknya lingkungan di Sumatera itu. Termasuklah Menko Muhaimin Iskandar. Walau sama-sama orang istana, Cak Imin minta Bahlil, Raja Juli dan Hanif agar tobat nasuha. Wah, bakal seru ni. Siapkan lagi Koptagul, kita kupas kekesalan pentolan PKB ini, wak!
Pada 1 Desember 2025, Cak Imin, dengan jas menterinya yang mungkin sudah kebanyakan menampung laporan bencana, mengirim sebuah surat pendek tapi menohok kepada tiga nama besar kabinet, yakni Bahlil Lahadalia selaku Menteri ESDM, Raja Juli Antoni sebagai Menteri Kehutanan, dan Hanif Faisol Nurofiq yang memegang palu kebijakan Lingkungan Hidup. Intinya sederhana, tapi menggetarkan dada, tobat nasuha, wak.
Kini, setelah pembaruan data BNPB terakhir, jumlah korban bencana banjir dan longsor di Sumatera sudah mencapai 604 jiwa meninggal dunia, dan 464 lainnya masih hilang entah di mana. Ini bukan lagi statistik netral, ini peta luka bangsa. Setiap angka itu punya wajah, punya nama, punya keluarga yang tak tidur karena menunggu kabar.
Di sisi lain, negara ini sudah menerbitkan sekitar 5.300 izin tambang (IUP), dan luas konsesi pertambangan nasional telah melebar hingga 9,1 juta hektare. Yang berarti, sementara jasad-jasad dikirim ke pemakaman massal di Sumatera, izin-izin yang menggerogoti hutan, mengiris lahan gambut, dan mencabik tata air sungai masih bertumpuk di meja kementerian. Ironi ini yang oleh Cak Imin diterjemahkan menjadi bahasa Tuhan, ketika bumi menyampaikan khutbahnya melalui air bah.
Di telinga Nahdliyin, tobat nasuha itu bukan sekadar permintaan maaf sambil menunduk formalitas. Itu tobat kelas kakap. Total, tuntas, tidak kembali pada dosa struktural. Ketika Cak Imin menggunakan diksi itu, ia sedang memukul gong moral di ruang kekuasaan. Banjir yang menelan 604 hayat itu ia baca bukan sekadar hujan deras kebetulan, tapi peringatan akbar terhadap kebijakan yang selama ini berpihak pada perut industri, bukan pada napas bumi.
Tobat yang dimaksudnya bukan tobat personal, bukan sekadar shalat taubat setelah rapat kabinet. Ini tobat kebijakan. Hentikan pemberian izin tambang yang ugal-ugalan di hulu sungai, stop ekspansi perkebunan yang merusak daya serap tanah, cabut izin-izin yang secara ilmiah dan empiris telah menjadi biang bencana, dan rombak total cara negara ini memperlakukan alam.
Yang menarik, teguran ini dikirim kepada menteri-menteri yang bukan berada di bawah komando langsungnya. Artinya, skala kerusakan sudah melewati batas struktur birokrasi. Ketika bumi sedang banjir darah air bah, tidak ada lagi tupoksi, yang ada tanggung jawab kemanusiaan dan ketuhanan.
Surat itu pendek, bahkan terkesan santun dan pelan, tapi di balik kalimatnya ada ultimatum kosmik, ubah atau tenggelam. Ketika korban meninggal tembus 604, ketika sungai berubah gulungan lumpur, ketika hutan menjadi luka terbuka selebar provinsi, maka tobat itu bukan pilihan, ia keharusan eksistensial.
Lewat surat itu, yang terlihat sebagai himbauan sebenarnya adalah suara seorang kiai yang menyampaikan pesan dari langit ke bumi, “Sebelum kemurkaan alam dan Tuhan menjemput lebih banyak nyawa… hentikan, perbaiki, dan bertobatlah. Bukan nanti. Sekarang.”
Banjir datang membawa kabar
Enam ratus jiwa menggelepar
Sumatera berduka makin menggetar
Cak Imin meminta mereka sadar
Hutan hilang tanah jadi hampar
Izin tambang tumbuh makin liar
Sungai keruh bergulung besar
Bumi memanggil agar kita istighfar
Surat pendek terdengar sangat gempar
Isinya menegur dengan nada tegar
Kebijakan salah membuat luka melebar
Saatnya pejabat bertindak tidak mengumbar
“Bang, cocok juga ni calon presiden 2029.”
“Boleh juga, bila perlu ikut mikul beras 10kg, wak!” Ups
#camanewak


