oleh ReO Fiksiwan | Sastrawan
“Benih bunuh diri adalah biaya ekologis dan manusiawi dari globalisasi pertanian.” — Vandana Shiva (73), Seeds of Suicide: The Ecological and Human Costs of the Globalization of Agriculture (2000).
RASIO sinis, sebagaimana dibedah oleh Sloterdijk, adalah kesadaran palsu yang tercerahkan: tahu bahwa sesuatu salah, namun tetap melakukannya dengan alasan pragmatis, demi keuntungan, demi kelangsungan sistem yang sudah terlanjur mapan.
Sinisme ini bukan lagi sekadar gaya hidup filosofis ala Diogenes yang menolak harta dan kekuasaan, melainkan modus operandi oligarki modern yang menjarah alam dengan wajah dingin, sambil berpura-pura peduli pada rakyat dan lingkungan.
Dalam Critique of Cynical Reason (1983), Peter Sloterdijk (78), Profesor Tamu di Collège de France (2023–2024) dengan kursi tahunan bertema The Invention of Europe through Languages and Cultures, mendefinisikan sinisme modern sebagai “enlightened false consciousness” atau kesadaran palsu yang tercerahkan—sebuah sikap tahu bahwa tindakan itu salah, namun tetap dijalankan demi keuntungan atau kelangsungan sistem.
Ungkapan ini sangat relevan bila dibaca sebagai kritik atas bencana ekologis dan bunuh diri ekologis akibat deforestasi dan eksploitasi alam.
Di Sumatra dan Aceh, jutaan hektar hutan ditebang, digunduli, dijadikan konsesi tambang dan perkebunan sawit. Bahkan ekonomi ekstrak dari jutaan konsesi-konsesi pertambangan.
Rasio sinis bekerja di balik meja rapat para pengusaha dan oknum negara: mereka tahu banjir bandang akan datang, mereka tahu ribuan rumah akan hanyut, mereka tahu manusia akan mati, tetapi tetap menandatangani izin, tetap menutup mata, tetap menukar ekosistem dengan angka-angka di neraca laba.
Bencana ekologis yang merenggut ribuan jiwa bukanlah sekadar “musibah alam”, melainkan buah dari bunuh diri ekologis yang dilakukan manusia sendiri.
Sinisme kontemporer, sebagaimana dikatakan Sloterdijk, mereduksi “seharusnya” menjadi strategi ekonomi.
Maka hutan yang seharusnya menjadi paru-paru bumi, menjadi sekadar komoditas kayu dan lahan. Sungai yang seharusnya mengalirkan kehidupan, menjadi saluran lumpur tambang.
Ekosistem yang seharusnya menopang kehidupan bersama, menjadi angka statistik dalam laporan konsesi.
Rasio sinis ini adalah wajah kapitalisme yang bersenjata lengkap, ingin hidup selamanya, bahkan dengan mengorbankan kehidupan itu sendiri.
Ironi terbesar adalah bagaimana manusia, dengan sadar, menggali kuburnya sendiri.
Bunuh diri ekologis bukanlah tindakan impulsif, melainkan proyek sistematis yang dijalankan dengan kalkulasi ekonomi, dengan retorika pembangunan, dengan janji kesejahteraan.
Sinisme di sini adalah kesadaran yang tahu bahwa janji itu palsu, bahwa kesejahteraan itu semu, tetapi tetap dijalankan karena keuntungan jangka pendek lebih menggoda daripada keberlanjutan hidup.
Seperti yang ditunjukkan Sloterdijk, sinisme modern bungkam terhadap tujuan sosial dan altruistik. Ia hanya tahu satu bahasa: laba.
Sloterdijk, tampil dalam wawancara besar di ARTE pada Juni 2025 silam, menyebut sinisme sebagai “a consciousness that is rich and miserable at the same time” (kesadaran yang kaya sekaligus sengsara).
Ia menegaskan bahwa sinisme adalah “the dominant form of consciousness in contemporary culture” (bentuk kesadaran dominan dalam budaya kontemporer).
Dengan kata lain, masyarakat tahu bahwa praktik merusak lingkungan akan berujung bencana, tetapi tetap melakukannya karena rasio sinis membenarkan tindakan itu sebagai strategi pragmatis.
Dengan demikian, banjir di Aceh dan Sumatra — entah daerah mana lagi yang berpotensi diterjang — bukan sekadar air bah, melainkan metafora dari kesadaran palsu yang akhirnya menenggelamkan tubuh-tubuh manusia bersama rumah dan tanah mereka.
Kritik rasio sinis atas bencana ekologis ini adalah panggilan untuk melihat bahwa tragedi bukanlah takdir, melainkan hasil dari pilihan sadar yang sinis.
Ketika oligarki dan negara bersekutu dalam eksploitasi, mereka sedang menulis bab baru dari sejarah bunuh diri ekologis.
Mereka tahu, tetapi mereka tetap melakukannya. Itulah sinisme paling telanjang: kesadaran palsu yang tercerahkan, yang menjadikan kehancuran sebagai strategi, dan menjadikan kematian sebagai collateral damage.
Dalam wajah banjir, kita melihat refleksi dari rasio sinis yang telah lama bersemayam dalam tubuh modernitas: rasio yang tahu kebenaran, tetapi memilih untuk menertawakan dan mengabaikannya. (*)
coverlagu: Album Kemarau dari grup musik The Rollies dirilis pada tahun 1979 di bawah label Musica Studio’s.


