Rosadi Jamani | Penulis
Ketua Satupena Kalbar
SEBELUM kita bahas, mari kita berdoa untuk 402 jiwa korban “bencana tanda tangan” di Sumatera. Korban akan terus bertambah. Sekarang kembali kita soroti kinerja KPK. Setelah malu bikin logika hukum ngawur, dipermalukan Prabowo, sekarang KPK ketahuan tukang bohong. “Pangalok,” kata Dayak Ahe. “Pak Ulak,” kata orang Sambas. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak.
Jakarta, 1 Desember 2025. Drama KPK kali ini mirip letusan gunung berapi birokrasi, debunya mengendap ke seluruh ruang publik, membuat kita semua terbatuk-batuk oleh abu kebohongan. Pada tanggal 24–27 November 2025, Plt. Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, tampil layaknya juru selamat sebelum tsunami, membawa narasi suci. Mereka hanya menerima laporan dari BPKP, bahwa auditor BPKP yang menemukan dugaan korupsinya, dan KPK hanyalah ombak kecil mengikuti arus besar laporan. Kata-kata itu mengalir seperti sungai sebelum banjir bandang, terlihat tenang di permukaan. Padahal, membawa lumpur ketidakjujuran di bawahnya. Publik mengangguk, wartawan menelan bulat-bulat, dan netizen membuat meme garuda menangis seperti hujan deras sebelum badai. Negara ini hampir percaya, seperti warga yang sudah siap evakuasi karena sirene bencana berbunyi. KPK percaya diri, semua karena laporan BPKB yang mereka terima.
Lalu 28 November 2025 datang bak gempa tektonik yang merobohkan bangunan narasi KPK. BPKP tiba-tiba muncul dengan pernyataan bak petugas BMKG yang berkata, “Maaf, sirene itu tidak dari kami.” BPKP menyampaikan dengan jernih, mereka hanya membuat review internal untuk ASDP tahun 2021, hasilnya disampaikan ke ASDP untuk perbaikan GRC, mereka tidak pernah lapor ke KPK, tidak pernah menyebut itu korupsi, dan tidak pernah mengeluarkan alarm darurat. Ini ibarat BPKP berkata, “Kami hanya ngukur tanah, bukan bilang ada gunung berapi, kenapa KPK tiba-tiba teriak letusan?”
Begitu kalimat itu keluar, reputasi KPK terhempas seperti rumah reyot diterjang banjir bandang. Bisa dibayangkan wajah KPK saat itu, seperti badai yang kehabisan angin, seperti petir yang lupa menyambar, seperti gunung api yang malu karena magma yang keluar ternyata cuma asap dapur. Mereka sempat tampil megah sebagai pahlawan bencana, lalu disibakkan kenyataan, bencananya baru mereka ciptakan sendiri.
Masuk ke 1 Desember 2025, keheningan itu seperti kabut tebal setelah longsor. Tak ada pernyataan maaf, tak ada koreksi, tak ada klarifikasi. KPK memilih diam seolah menjadi desa mati pasca tsunami. Tidak ada suara, tidak ada respon, hanya senyap. Wartawan bertanya, publik mendesak, tapi KPK mendadak seperti saluran radio yang hilang frekuensi, hanya derit statis. Mikrofon konferensi pers KPK mungkin sudah berubah menjadi fosil.
Di titik ini kita harus mengakui sesuatu, bencana terbesar bukan banjirnya, bukan gempa bumi narasinya, tapi sikap diam pasca bencananya. Saat institusi negara ketahuan berbohong, yang lebih menghancurkan bukanlah kebohongannya, tapi tidak adanya tanggung jawab setelahnya. Indonesia sudah sering menghadapi bencana alam, tapi menghadapi bencana kebohongan pejabat adalah tragedi sosial yang jauh lebih susah direhabilitasi. Kalau gunung meletus, kita bisa evakuasi. Kalau tsunami datang, kita bisa naik ke dataran tinggi. Tapi jika yang meletus adalah kebohongan dari lembaga antikorupsi… mau lari ke mana?
Slogan “Berani Jujur Hebat” kini tampak seperti papan evakuasi yang dibalik arahnya. Yang berlaku sekarang adalah “Berani Bohong Hebat, karena rakyat sudah kebal seperti daerah yang terbiasa dilanda badai.”
Terima kasih, KPK. Kalian bukan hanya menghadirkan bencana narasi, tapi juga mengubah kebohongan menjadi fenomena geologi tingkat nasional. Kami menunggu aftershock berikutnya.
“Bang, kenapa KPK suke gitu ye, pangalok.”
“Maklum, wak! Mereka masih merasa jagoan hukum, pendekar pemberantas koruptor. Biar bohong asal kesohor.” Ups (*)
#camanewak

