Oleh Christian Heru Cahyo Saputro | Jurnalis, Pengamat Seni Rupa dan Pertunjukan, Tinggal di Semarang


KETIKA Bencana Sumatra Bicara Lewat Tubuh, Debu Bata dan Luka Manusia

Sumatra adalah tanah yang selalu punya cerita.

Tentang hutan yang dahulu rimbun, sungai yang mengalir sabar, gunung yang menjaga kampung-kampung di lerengnya. Namun belakangan, cerita-cerita itu sering berubah menjadi kabar duka: tanah longsor, banjir bandang, hutan terbakar, kampung terendam, perut lapar, dan tubuh-tubuh yang terkapar tanpa sempat disebut namanya.

Bencana datang silih berganti—sebagian tercatat sebagai “nasional”, sebagian lain lenyap di antara berita singkat, tak sempat menjadi perhatian. Tetapi bagi mereka yang tinggal di sana, setiap bencana selalu sama: kehilangan.

Di tengah rentetan duka itulah, perupa Lampung David menghadirkan sebuah pernyataan sunyi namun mengguncang melalui performance art dan karya grafis cetakan pertamanya bertajuk “Luluh Lantak” (2025). Karya berukuran 200 x 150 sentimeter itu bukan sekadar gambar; ia adalah luka yang dibentangkan, suara yang dihadirkan tanpa teriak.

Debu Bata Merah, Jejak Tubuh Manusia

Media yang dipilih David sederhana, nyaris kasar: bubuk bata merah yang ditaburkan dan ditekan di atas kanvas. Bata—material rumah, simbol perlindungan—diubah menjadi debu. Seperti rumah-rumah yang runtuh, seperti kehidupan yang remuk oleh air, api, dan tanah yang tak lagi jinak.

Dalam pertunjukannya, David menciptakan ciplakan tubuh-tubuh manusia yang terkapar. Siluet itu hadir tanpa identitas, tanpa nama, tanpa wajah.

Mereka bisa siapa saja: petani di lereng Bukit Barisan, ibu yang kehilangan dapur, anak yang menahan lapar di pengungsian. Tubuh-tubuh itu dikelilingi ranting-ranting patah, simbol hutan yang dirampas, pohon-pohon yang tumbang bukan oleh usia, tetapi oleh keserakahan.

“Korban bencana alam berjatuhan tanpa ada rasa kepedulian,” begitu narasi yang menyertai karya ini. Bau bangkai menyengat di mana-mana—bukan hanya bau kematian, tetapi bau kelalaian. Bau dari keputusan-keputusan yang salah, dari hutan yang ditebang tanpa ampun, dari alam yang terus diperas hingga tak sanggup lagi menahan murka.

Sumatra, dalam karya ini, bukan sekadar pulau. Ia adalah ibu yang lelah, tetap tegar meski tubuhnya dilukai berulang kali. Ia sabar berdiri dalam penderitaan, dengan hati bergetar menahan lapar anak-anaknya.

Bencana yang Tidak Pernah Netral

“Luluh Lantak” tidak berbicara tentang bencana sebagai peristiwa alam semata. Ia menuding, pelan tapi pasti, bahwa sebagian bencana adalah hasil ulah manusia-manusia serakah. Illegal logging, perusakan bentang alam, eksploitasi tanpa etika—semua itu hadir dalam bentuk simbolik yang getir.

Bencana dalam karya ini bukan kejadian tiba-tiba. Ia adalah akumulasi. Ia adalah akibat.

Melalui tubuhnya sendiri dalam performance art, David seakan menempatkan diri sebagai saksi sekaligus penggugat. Geraknya tidak heroik, justru lambat, berat, seperti beban yang dipikul terlalu lama. Di hadapan kanvas, seni berubah menjadi doa yang nyaris putus asa: adakah kita benar-benar tergerak untuk membantu, atau hanya sebatas menonton?

Seni sebagai Bahasa Kepedulian

Karya “Luluh Lantak” menjadi salah satu penanda kuat dalam Pameran “Dialog untuk Sumatra” yang digelar di Taman Budaya Lampung. Pameran ini bukan sekadar ruang estetika, tetapi ruang empati—tempat seni berbicara ketika angka statistik tak lagi sanggup menjelaskan rasa kehilangan.

Melalui pameran ini, para perupa Lampung menegaskan bahwa seni tidak netral. Ia berpihak pada kemanusiaan. Ia menolak lupa. Ia menjadi bahasa alternatif ketika korban bencana tak punya mikrofon untuk menyuarakan luka mereka.

Di sini, karya tidak hanya dipajang, tetapi juga dilelang; apresiasi diubah menjadi donasi; keindahan diubah menjadi tindakan. Seni turun dari dinding, berjalan ke dapur-dapur pengungsian, ke perut-perut yang menahan lapar.

Agar Tidak Terulang

“Luluh Lantak” adalah peringatan.

Bahwa bencana tidak berhenti pada satu musim hujan.

Bahwa luka alam tidak sembuh hanya dengan simpati sesaat. Karya ini mengajak kita mengingat—dan lebih penting lagi, tidak mengulang. Tidak mengulang perbuatan jahat yang mengundang malapetaka. Tidak menormalisasi kerusakan. Tidak membiarkan Sumatera terus menceritakan kisah duka yang sama.

Di hadapan debu bata merah dan jejak tubuh yang terkapar itu, kita dihadapkan pada satu pertanyaan yang paling manusiawi: Jika alam sudah luluh lantak, masihkah kita memilih untuk berpaling?

Dan mungkin, di sanalah seni menemukan maknanya yang paling dalam—bukan sebagai hiasan, tetapi sebagai panggilan nurani. (*)





 
Top