Rosadi Jamani | Penulis

Ketua Satupena Kalbar


SEPERTINYA satu babak belum cukup Prahara PBNU. Terpilihnya KH Zulfa Mustofa saya kira semua manut or ngucapkan selamat dan sukses. Ternyata oh ternyata, bakal masuk babak kedua yang lebih administratif dan dramatis. Simak lagi kisah struktural NU sambil seruput Koptagul, wak!

Hotel megah, backdrop mewah, wajah-wajah serius, dan mikrofon berjejer rapi. Di atas kertas, ini disebut Rapat Pleno PBNU. Tapi di lapangan, suasananya lebih mirip “drama musikal tanpa penonton.” Dari 216 anggota yang seharusnya hadir, cuma 56 yang nongol. Presentasenya 25,9%. Kalau ini nilai raport, langsung dipanggil orang tua. Kalau ini konser, EO sudah gulung tikar. Kalau ini tahlilan, malah dituduh tak ada berkat.

Namun para penyelenggara tetap percaya diri. “Rapat ini sah,” kata Prof. Mukri, seolah undangan yang sudah dikirim itu adalah tiket menuju surga legalitas. Bagi mereka, sah tidaknya rapat itu bukan ditentukan oleh manusia yang hadir, tetapi oleh niat batin dan distribusi undangan yang sudah memenuhi syarat. Kira-kira logikanya begini, kalau undangan sudah dikasih, tapi yang datang cuma panitia dan cleaning service, ya tetap sah. Yang penting WA terkirim, centang dua, tanpa perlu biru.

Di sisi berlawanan, kubu Gus Yahya sedang mempraktikkan level tertinggi dari tawadhu bercampur luka batin. Mereka menolak rapat itu mentah-mentah. Alasannya jelas, “Pleno kok isinya segelintir orang?” Dari 29 Mustasyar, cuma dua yang hadir, dan itu pun mungkin karena salah masuk ruangan. Dari 53 Syuriyah, hanya 19. A’wan 7 dari 40. Tanfidziyah 21 dari 62. Lembaga 5 dari 18. Banom 2 dari 14. Grup WA alumni TK saja lebih aktif dibanding ini.

Meski begitu, rapat minimalis ini tetap produktif. Mereka berhasil menetapkan Pj Ketum, KH Zulfa Mustofa, penyair dari tanah Banten. Penetapan itu mengabaikan dawuh Mustasyar Tebuireng, dan menegaskan secara filosofis bahwa “nasihat kiai sepuh itu bukan keputusan struktural.” Intinya, kalau kiai bilang “jangan ribut,” itu cuma kayak notifikasi harian aplikasi, boleh dibaca, boleh di-skip. Saran itu bukan larangan, apalagi tamparan.

Kubu Gus Yahya tak mau ikut arus. Mereka memilih jalur spiritual, mengikuti dawuh para kiai, menolak pemakzulan, dan menganggap rapat itu sebagai pleno rasa-rasa. Tidak sah secara organisasi, tidak valid secara ruhani, dan tidak pantas secara batiniah. Mereka yakin, legitimasi itu bukan pada tangan yang mengangkat palu, tapi pada tangan-tangan sepuh yang mengangkat doa. Sayangnya, AD/ART belum menyediakan kolom “divalidasi oleh langit.”

Publik pun bingung. Yang mana yang benar? Yang hadir tapi minoritas? Atau yang absen tapi mayoritas? Apakah demokrasi boleh dijalankan oleh 25,9% manusia? Apakah rapat yang kursinya lebih banyak dari pesertanya tetap disebut rapat? Kapan episode ini tamat? Sebelum Ramadhan atau setelah Muktamar?

Satu hal yang tidak butuh rapat untuk disepakati, NU sedang tidak baik-baik saja. Tapi sebagaimana tradisi agung kita, badai pasti diakhiri dengan musyawarah, istighosah, lalu pleno lagi (yang mungkin masih juga kosong). Yang penting undangannya dikirim. Soal siapa yang datang? Itu rahasia ilahi.

Yang penting, sah dulu, ributnya belakangan.

Kini, setelah palu diketuk oleh mereka yang hadir, badai belum berhenti. Justru angin puting beliung mulai berputar, perebutan kantor, perebutan stempel, dan rebut-rebutan legitimasi di Kemenkum. Lobi-lobi mulai berjalan, siapa yang berhasil masuk sistem duluan, dialah yang dianggap “resmi.” Yang kalah cepat, jadi ormas unofficial edition. Di sinilah puncak komedinya, organisasi sebesar PBNU akhirnya ditentukan bukan oleh jumlah kiai, bukan oleh mufakat jamaah, tapi oleh siapa yang lebih dulu diterima satpam Kemenkum.

Drama belum tamat, wak. Ini baru pembukaan babak kedua rebutan legalitas, tahta berpindah lewat pleno, tapi kekuasaan berpindah lewat stempel. Bakal semakin seru, penonton semakin menderu. (*)

#camanewak



 
Top