DENPASAR - Upaya hukum praperadilan yang diajukan Rektor Universitas Udayana (Unud), Prof DR Ir I Nyoman Gde Antara MEng (Pemohon) melawan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali (Termohon) kandas. Ini setelah hakim tunggal, Agus Akhyudi menolak praperadilan Pemohon.

Amar putusan telah diputus oleh hakim tunggal tersebut dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (2/5/2023).

Dalam putusannya, hakim Agus Akhyudi mengurai sejumlah pertimbangan.

Disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 21/PUU-XII/2014 selain memuat perluasan obyek praperadilan, juga memberikan penjelasan atas pengertian bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup, yaitu adalah minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

"Bahwa pemeriksaan praperadilan terhadap Permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara," paparnya.

Mengacu dari putusan MK tersebut serta ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (MA) No 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, disimpulkan persyaratan penetapan tersangka adalah hanya menilai aspek formil.

Pula, adanya alat bukti yang sah paling sedikit 2 alat bukti, dan tidak memasuki materi perkara.

Berdasarkan fakta di persidangan, kata hakim Agus Akhyudi, pengadilan berpendapat telah terdapat alat bukti berupa saksi, ahli dan surat dalam penetapan Pemohon sebagai tersangka perkara dugaan penyalahgunaan dan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Universitas Udayana tahun 2018/2019 sampai dengan 2022/2023.

“Semua alat bukti tersebut digunakan oleh Termohon sebagai alat bukti untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka. Dengan demikian telah terdapat 3 alat bukti yang digunakan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka," tegasnya.

Berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut, pengadilan berkesimpulan bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka telah didasarkan pada 3 alat bukti.

Oleh karenanya telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014 jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Dengan demikian penetapan Pemohon sebagai tersangka adalah sah.

"Mengadili, menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya.Dalam pokok perkara, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tegas hakim Agus Akhyudi.

Selain menolak praperadilan yang diajukan Rektor Unud, Prof Antara, Hakim juga menolak praperadilan dari tiga pejabat Unud, yakni I Ketut Budiartawan, Nyoman Putra Sastra dan I Made Yusnantara.

"Hari ini praperadilan kami ditolak. Hakim berpendapat bahwa secara formil sudah terpenuhi, secara materiil belum," ucap Gede Pasek Suardika selaku anggota tim hukum didampingi anggota lainnya seusai sidang putusan di PN Denpasar, Selasa.

Meski ditolak, pihaknya tetap berkeyakinan sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka harus ada penghitungan kerugian keuangan negara.

"Kami meyakini dengan munculnya putusan MK No 25 tahun 2016, itu sebenarnya kerugian negara harus muncul dulu, kemudian baru orangnya ditersangkakan. Tapi kalau memang begini konsepnya, ya sudah nanti kita uji di pokok perkara," ucap advokat, politikus dan Ketua Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) itu.

Dengan putusan ini, Pasek Suardika berpandangan bahwa kedepan orang boleh ditersangkakan sebelum ada kerugian keuangan negara.

"Paling tidak kami punya potret, publik juga sudah punya potret hari ini Rektor Udayana ditersangkakan dalam kasus korupsi yang katanya kerugiannya berbeda-beda. Faktanya belum ada audit hasil perhitungan kerugian keuangan negara dari lembaga berwenang. Katanya itu tidak masalah. Berarti desain penegakan hukum kita kedepan untuk kasus korupsi, siapapun menjabat bisa ditersangkakan dulu, dan belakangan baru mencari alat bukti kerugian negara," ujarnya. 

#trb/boy





 
Top